13

Di musim dingin itu, rumah kita berkabung.

Rewelmu mungkin sama banyaknya dengan raungan tangis Papimu. Setelah bertahun-tahun dibuang, menjadi yang terlupakan, mendapatkan kabar bahwa ayah yang ia hormati telah tiada masih tetap membuat Papimu begitu terpukul. Ia sangat mencintai keluarganya.

Teriakan bahagianya karena akhirnya dikontak kembali oleh keluarganya, terlebih lagi adik perempuannya yang sangat ia cintai, berubah menjadi raungan putus asa. Papimu terus menangis. Bahkan dalam tidurnya pun ia kerap kali menangis, mengigau memanggil ibu dan ayahnya.

Papa juga sangat sedih. Namun sayangnya tak ada lagi yang bisa Papa lakukan selain merangkul Papimu pagi ke malam, mengingatkannya untuk makan, tidur, atau setidaknya membawamu untuk tidur dengan kami agar Papimu ada hiburan.

Memang menyedihkan untuk akhirnya tau kabar buruk dari keluargamu tapi kau tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa bertanya, tak bisa menjenguk, tak bisa melihat. Papi sempat berkata bahwa ia ingin pulang sekejap, namun sedetik kemudian langsung menampar mukanya agar dia sadar bahwa dia ini siapa. Papi benar-benar menderita, untuk seseorang yang sangat menyayangi keluarganya, Papi sangat sangat terpukul.

Papi sudah tiap hari meng-spam email bibimu, bertanya apa yang terjadi, memohon agar segera dibalas—namun nihil, Papimu seperti biasa tak diacuhkan.

Papi… he is a family man. Papa bahkan pernah bertanya, “jika kamu sayang banget sama keluarga kamu, lalu kenapa milih aku?”

Lalu ia menjawab. “Karena keluarga aku sepertinya bisa hidup tanpa aku,”

Papa tak bisa untuk tak mengernyitkan dahi Papa. “Lah, memangnya aku ga bisa?

“Memangnya kamu bisa hidup tanpa aku?”

Dan kekehan itu membuat Papa mendengus.

Ah, tau saja Papimu ini!