4

Seperti yang kamu ketahui, Papa punya banyak kakak. Total ada 4, semuanya sudah sukses, bahkan ketika Papa masih SMP pun kakak pertama Papa sudah menjadi PNS. Ibu dan bapak Papa bukan main bangganya, masih lekat di ingatan Papa kami sekeluarga pergi ke studio untuk foto keluarga dengan kakak Papa menggunakan PDH-nya gagah.

Jadi Papa sebenarnya tak punya beban seberat itu untuk menaikkan derajat orangtua, terbukti dengan nilai Papa yang sering anjlok namun Bapak Papa tetap anteng membiarkan Papa keluyuran tidak jelas.

Namun berbeda dengan Papimu. Dia anak pertama dari 3 bersaudara. Dia harapan pertama dalam keluarga. Tiap harapan, ekspektasi, masa depan ada di bahunya. Sejalan lurus dengan harapan keluarganya, Papimu juga memberikan yang terbaik untuk keluarganya. Seorang mahasiswa FK dengan IPS paling rendah 3,6—anak ini, anak brilian.

Namun sejalan lurus juga dengan prestasinya, ada keringat dan air mata di setiap langkahnya. Tak jarang Papa menemukan Papimu belajar sampai larut malam hingga hanya tidur 3 jam sehari demi satu UTS. Atau, ketika Papimu menangis saat dosen tidak memperbolehkannya masuk kelas karena ia telat 5 menit sebab bus universitas lama datangnya (waktu itu Papa pikir Papimu menangis karena dimarahi dosen habis-habisan. Papa waktu itu ingin memeluknya, mengatakan, 'Jangan belajar, kamu udah pintar' hahahaha)

Oh ya, Papimu itu cengeng. Bayangkan ia menangis di gedung rektorat ketika menerima telepon dari Ayahnya. Atau, ia menangis kencang ketika tahun 1997, ketika kami menonton Titanic berdua di bioskop dekat kampus. Atau ketika kami berdua iseng ikut demo reformasi demi sebungkus nasi gratis, ia menangis karena takut sama aparat katanya.

Papa suka melihatnya menangis. Terdengar kejam memang, tapi muka merah, bibir lucu, juga rengut-rengutan tidak jelasnya adalah hal favorit Papa. Apalagi tangisannya tersebut bisa menjadi bahan ejekan, Papa hobi sekali!

Namun hari itu, di malam hari ketika tahun baru 1998. Tangisan itu terdengar lagi. Tangisan ini… bukan tangisan favorit Papa. Daripada menjadi favorit, Papa rasanya ingin membunuh diri Papa melihat lelaki dengan wajah setengah bonyok duduk di pinggiran kamar kost Papa, entah mana darah, entah mana air mata.

Malam itu, malam Papimu diusir dari rumah karena keluarganya tau, ia tidak sesuai kodrat.