6

Seharusnya hari itu Papa tak usah memberikannya mawar di depan gedung fakultas. Seharusnya kami tak usah tertawa bersama, seharusnya kami tak usah berangkulan, seharusnya kami tak usah bahagia.

Akhirnya begini, hubungan yang Papa anggap menjadi angin segar bagi diri Papa yang penuh bohong atas diri sendiri, malah menjadi neraka bagi kami berdua.

Entah berapa banyak sakit yang kami terima. Entah berapa banyak luka yang telah Papa toreh pada diri indah Papimu. Entah sebenci apa Papimu pada Papa.

Papa layak mendapatkan benci Papimu. Disiksa oleh ayahnya sebelum ia dikeluarkan dari keluarga, dipermalukan oleh satu universitas, di-drop out, dihilangkan keberadaannya bak lenyap dari bumi. Papimu bak tak ada artinya lagi.

Papa juga mendapatkan luka yang sama. Keluarga Papa begitu malu. Papa berhenti kuliah. Abang dan Kakak Papa tiap hari memukul Papa, merendahkan Papa, hingga mendatangkan ahli agama agar Papa 'sembuh'. Tangisan Ibu Papa tiap hari terdengar, menyalahkan Tuhan karena memberikan Papa 'penyakit' ini.

Namun menurut Papa luka itu belum seberapa dengan siksaan yang Papa terima saat sama sekali tidak bisa bertemu kabar dengan Papimu. Apa yang sedang dia lakukan, apa kabarnya, dia sekarang dimana, apa dia baik-baik saja, apa dia makan dengan baik, apa luka di bibirnya karena ditonjok ayahnya sudah membaik, apakah dia bisa bernafas dengan tenang karena selama ini, Papa sama sekali tak bisa hidup tenang tanpanya.

Papa dipingit, tidak boleh keluar kamar sama sekali. Bahkan waktu Papa ingin melarikan diri, berniat untuk tak kembali lagi, bapak Papa mengikat tangan Papa, membiarkan Papa terkurung sendiri di kamar belakang, hanya diberi minum dan makanan secukupnya oleh Ibu Papa yang entah kenapa malah sering membawakan Papa majalah dewasa agar 'proses penyembuhan' Papa berjalan cepat.

Lalu 5 bulan berlalu. Orangtua Papa tetap memingit Papa, Papa sudah hampir menyerah.

Namun Senin siang itu, di saat Abang dan Kakak semuanya sedang berada di kantor, di saat bapak sedang berkebun di pinggiran kota, di saat ibu sedang menggoreng ayam di dapur; ada sebuah senyum yang mengembang di depan pagar rumah orangtua Papa. Kulitnya masih saja bersinar disentuh mentari, bibir hatinya tampak sedikit bengkak bekas pukulan namun senyumnya masih sama manisnya dengan dirinya di tahun 1996—atau bahkan lebih manis. Dia adalah Papimu. Ia sekali lagi datang, menjemput Papa, menyelamatkan Papa, tak akan pernah pergi dari Papa.