7

Ketika Papa bertanya; “kamu selama ini tinggal dengan siapa?” Papimu hanya menggelengkan kepala sambil berkata, “ada teman baik nampung aku, udah jangan dibahas,” padahal Papa tau, ia bekerja keras menjadi guru les dengan gaji tak layak, merendahkan harga diri anak FK yang selama ini ia pegang demi sesuap nasi dan tempat untuk tidur.

Papimu juga kadang bertanya; “kamu memangnya gimana bisa keluar dari rumah? Bapak kamu security nya bukannya ketat banget?” Papa hanya menggeleng, kemudian menjawab, “aku kabur malam-malam,” padahal Papimu tentu saja tau sehancur apa badan Papa ketika keluar dari rumah itu.

Hah, manusia dan ego-nya, tetap harus merasa egois, merasa paling benar, bahkan jika itu harus menyakiti sesama manusia sekalipun. Entah siapa yang mereka tuhankan, entah tuhannya, entah itu egonya.

Ketika hari dimana kami bertemu untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Papa dan Papimu tidak langsung pergi, tidak langsung bersatu. Kami harus menunggu, menunggu saat yang tepat hingga titik semuanya jenuh, semuanya sudah capek, dan tidak mau tau lagi. Lalu setelah benar-benar dibuang masyarakat, disaat benar-benar dianggap sudah tidak ada lagi, akhirnya kami kembali bersatu, bersua, meraih kebahagiaan kami. Bahkan jika itu artinya kami harus pergi dari negeri ini, menghilang dari tempat yang katanya rumah ini, seperti kisah cinta tak sesuai kodrat lainnya.