9

Vancouver adalah kota yang indah. City of Glass, begitulah julukannya. Bias cahaya matahari yang melewati gedung-gedung pencakar tinggi, terkesan hangat juga indah. Sehangat rumah kami di negara ini.

Hidup berdua sendirian di negara yang baru adalah hal yang tak mudah. Kami harus bertahan hidup; tinggal di flat kecil pinggir kota, terkadang kesusahan untuk memenuhi kebutuhan pokok, juga tak bisa dipungkiri perasaan rindu itu kerap muncul, Papimu acap kali menangis tengah malam, rindu adik-adiknya katanya.

Namun hidup harus terus berlanjut, Papa berusaha dengan susah payah mencari pekerjaan. Bermodal ijazah SMA dari sebuah negara berkembang, Papa akhirnya, setelah hampir 4 bulan menganggur, diterima untuk bekerja di sebuah perusahaan dagang sebagai tukang bersih-bersih.

Gajinya memang terkesan besar, setara 500.000 Rupiah pada saat itu, namun dengan jumlah segitu, berusaha bertahan di negara maju ini sangatlah tidak cukup. Papimu juga harus ikut bekerja, menyambil menjadi tukang antar susu di sebuah perumahan mewah di blok samping flat kami.

Ini dia titik balik kehidupan kami, tak seperti di tanah air dulu, ketika kami ngekost berdua, yang walaupun susah namun kami tetap ketawa-ketiwi berdua menikmati hari bersama. Sepertinya tinggal di negara baru, dengan suasana baru, bertemu dengan society baru, membuat kami berdua stres. Memang benar di sini tidak ada satu pun yang menyalahkan orientasi seksual kami, semuanya menerima kami (baru pertama kali Papa mendengar orang berkata “Wah, sudah berapa lama kalian bersama?” ketika Papa menceritakan hubungan Papa dan Papi.) Namun tetap saja, kami entah kenapa merasa jenuh, merasa kosong—apalagi Papimu yang tiap malam selalu menangisi adik-adiknya—serasa ada yang kurang, ada yang hilang. Perkelahian tentu saja tak terelakan di saat-saat begini.

Waktu itu adalah satu setengah tahun pertama kami tinggal di Vancouver. Lalu ketika sudah hampir 2 tahun kami tinggal di negara ini, Papimu, suatu malam berlutut di depan Papa kemudian berucap,

“Ayo kita mengadopsi anak,”