Ada suatu tentang Donghyuck.
Jika hari-hari biasanya ia memakai baju kaos hitam kesukaannya, maka kini hoodie besar Mark lah yang ia pakai beserta beberapa baju bola kedodoran yang ia taruh di dalam lemarinya.
“Kau yakin tak ingin membeli baju baru?” Begitu tanya Mark saat melihat dengan nanar hoodie hijau favoritnya kini telah menjadi pakaian wajib Donghyuck kalau mereka pergi ke luar, nyaman katanya. Seribu toko pakaian telah mereka lewati, namun Donghyuck sama sekali tak menunjukkan reaksi.
“Aku yakin aku hanya butuh hoodie-mu,” begitu jawab Donghyuck singkat.
Mark mengangguk. Walaupun ia sangat ingin memakai hoodie hijau kesayangannya itu, tetap saja ia harus mengalah demi pasangannya yang baru saja hamil muda itu.
Ini bukan seperti pakaian-pakaian lama Donghyuck sudah tak muat lagi, badannya tak terlalu banyak berubah, hanya perutnya yang berubah semakin buncit. Hanya itu. Namun selama 3 bulan masa mengandungnya, Donghyuck tampaknya sama sekali tak pernah menyentuh pakaian lamanya lagi. Ia memakai pakaian Mark yang kedodoran, membuatnya tampak lucu dan tenggelam. Kata Ibu Mark, itu hal yang wajar, di baju Mark mungkin memiliki sesuatu yang membuat Donghyuck yang sedang hamil merasa nyaman. Terdengar lucu tapi fakta bahwa Mark menghamili Donghyuck terdengar jauh lebih lucu lagi.
Mereka hanya tidak memakai kondom sekali di malam 6 Juni menyambut hari ulang tahun Donghyuck dan hasilnya sungguh memuaskan—bagi Mark—ia masih tak menyangka bahwa Donghyuck sesubur itu dan ia sekuat itu.
Jadi ketika mereka sudah sampai di rumah setelah berjalan-jalan sore, Donghyuck langsung melepaskan hoodie Mark, menampakkan badan hamilnya yang dibalut singlet putih hadiah dari Ibunya karena katanya “tidak baik orang hamil tidak memakai dalaman”.
Seperti yang dibilang, perut Donghyuck semakin membuncit, pinggulnya pun makin melebar. Yang lebih mengejutkan lagi adalah dadanya, dada itu lebih berisi, seakan ia tumbuh bersamaan dengan kehamilan Donghyuck untuk diisi susu untuk anak mereka kelak.
“Aku pikir kita harus membeli miniset,” begitu kata Mark sambil melihat dada Donghyuck.
Tapi satu kata basa-basi atau sarat saran itu rupanya mendatangkan malapetaka. Donghyuck yang sedang melepaskan celananya menatap Mark dengan pandangan tak terbaca. Ia pergi, tanpa mengatakan apapun, ke dalam kamar mandi lalu yang dapat Mark dengar setelahnya adalah suara air shower bergaung bersama isakan kecil.
Di titik ini, Mark bingung. Apa salahnya?
—
Ada suatu tentang Donghyuck.
Ia marah. Marah besar!
Bahkan saat makan malam ia pergi sendiri ke luar apartemen mereka. Meninggalkan Mark yang baru saja selesai mandi kepanikan, berlari ke jalan mencari Donghyuck sambil menelpon pacarnya itu tidak henti. Tebak apa yang diberikan Donghyuck kepada Mark? Stiker jempol. Ke bawah. Donghyuck … jelas ia merajuk.
Mark tak bisa tenang. Donghyuck adalah lelaki dewasa, benar. Tapi ia adalah lelaki dewasa yang sedang hamil. Ia sedang hamil. Mark tak bisa tenang memikirkan Donghyuck-nya yang sedang hamil pergi entah kemana tanpa dirinya, tanpa mengabarinya, hanya mengirimkannya emoji jempol ke bawah sebagai tanda bahwa ia baik-baik saja. Jadi Mark pun turut turun ke jalan, menghampiri tiap restoran dekat apartemennya sambil mencari-cari lelaki berambut bulat yang memakai hoodie kebesaran. Tapi nihil, bahkan kekasihnya itu tidak ada di restoran pasta tempat kesukaannya. Mark yang telah putus asa, hampir saja menelpon ibu mertuanya untuk membantunya mencari Donghyuck tapi niatnya itu harus ia urungkan saat mata elangnya menangkap jelas kekasihnya sedang duduk makan sup di restoran pinggir jalan, restoran yang sepertinya tak pernah mereka kunjungi. Aneh. Donghyuck itu pemilih soal makanan, ia tak ingin mencoba makanan asal-asalan. Biasanya Mark yang akan mencoba seluruh makanan di sepenjuru kota. Lau setelah diakui oleh lidah Mark, barulah Donghyuck akan berkunjung ke restoran itu.
Tapi apapun itu, Mark lega akhirnya Donghyuck ia temukan. Restoran itu tak terlalu jauh dari apartemen mereka, membuat Mark lega pula karena Donghyuck rupanya tak berjalan begitu jauh. Maka Mark menghampiri restoran sehat khusus diet itu, duduk di depan Donghyuck tanpa memberikan peringatan.
Mata Donghyuck sedikit membulat saat Mark yang ngos-ngosan duduk tegap di depannya. Namun sepersekian detik kemudian mata yang terkejut itu kembali fokus menyantap sup sayur sehatnya, tak mengucapkan sepatah kata apapun pada kekasihnya.
Restoran ini cukup kecil. Hanya ada 4 meja di dalam restoran. Kebulan asap dari panci panas berisikan sup menambah sumpek restoran keluarga kecil ini. Dan Donghyuck memakai hoodie tebal abu-abunya di sini, sambil menyantap sup yang panas. Dapat Mark lihat keringat membasahi wajah Donghyuck, yang akan lelaki itu lap dengan tisu, kemudian begitu seterusnya sampai sampah tisu yang ada di meja mereka begitu banyak.
“Tuan, aku pesan cokelat dingin satu.” Pesan Mark, berharap cokelat dingin, kesukaan Donghyuck, dapat membuat Donghyuck merasa segar.
Namun saat cokelat dingin sudah diantar dan ia sodorkan kepada Donghyuck, lelaki itu malah mendorong gelas tinggi itu.
“Aku ingin air hangat,” ucap Donghyuck memesan minuman yang rasanya tak tepat diminum sekarang.
Dan air hangat itu datang dengan cepat. Donghyuck meminumnya dengan cepat pula, membuat mukanya memerah kepanasan.
Mark menaikkan alisnya khawatir. “Jangan minum yang panas-panas. Minum es cokelat ini,” sodor Mark lagi. Tapi Donghyuck masih tetap diam, bahkan lebih parahnya lagi, ia angkat tangannya, “air hangat satu, tolong.” Pesannya kembali.
Mark menghela nafas. Donghyuck benar-benar keras kepala. “Minum air dinginmu, Donghyuck.” Tapi seperti yang diduga, Donghyuck hanya diam sambil menyesap kuah supnya.
Tuan pemilik restoran tampaknya sadar dengan perselisihan kecil pasangan muda ini. Ia tampak terkekeh sambil membawa pesanan Donghyuck. “Apakah Tuan tak ingin makan?” Tanyanya.
“Tidak, terima kasih. Aku akan makan sup punya suamiku saja,” begitu tolak Mark.
Tuan pemilik restoran itu tertawa, kemudian menaruh pesanan Donghyuck. “Kalian terlihat manis,” katanya sebelum berlalu.
Mark mengangguk, mengucapkan terima kasih, walaupun fakta di depannya adalah pasangannya sedang benar-benar sensitif, begitu kesal dengan muka memerah kepanasan.
Tapi yang tak Mark duga, setelahnya Donghyuck berhenti makan. Ia sodorkan mangkuk supnya ke arah Mark. “Makan.” Begitu kata pertamanya setelah mendiamkan Mark selama hampir 2 jam.
Mark tak lapar, tapi melihat wajah Donghyuck yang mulai melunak—walaupun matanya masih menatap Mark kesal—membuat ia mencoba menyicip sup sehat itu. Dan berakhir Mark lah yang menghabiskan sup sehat tidak ada rasa itu.
Donghyuck itu benar-benar sesuatu.
—
Mereka berjalan pulang tanpa bergandengan tangan seperti biasanya setelah makan di restoran sup tadi. Donghyuck mengganti baju sedangkan Mark membuatkan susu hamil Donghyuck.
Suasana saat itu begitu hening. Susu sudah selesai dibuat, Mark lantas menghidupkan tv sembari menunggu Donghyuck selesai berganti pakaian.
5 menit.
10 menit.
15 menit
25 menit?
Bahkan siaran komedi berbabak itu sudah menayangkan tayangan mereka sebanyak 4 babak. Selama itu pula Donghyuck tak keluar dari kamar untuk meminum susu malamnya sebelum tidur.
Mark pun membawa susu yang sudah dingin itu, ia buka pintu itu sebelum masuk ke kamar mereka dengan pandangan terkejut.
Donghyuck telah tidur.
Ia tertidur terlentang di kasur mereka, di atas tumpukan pakaian kosplay-nya yang entah bagaimana tertaruh acak-acakan di atas kasur. “Donghyuck, bangun. Kau harus minum susu,” ujar Mark membangunkan Donghyuck.
Donghyuck terbangun karena itu. Ia mengelap mukanya sekejap lalu meminum cepat susu yang telah Mark buat. “Tidurlah di posisimu, aku akan mengemas ini,” begitu kata Mark yang berhasil memindahkan badan Donghyuck dari atas tumpukan baju-baju pendek berendanya.
Malam itu Mark mengemas baju favorit kekasihnya. Tersenyum melihat baju-baju yang dulu—sebelum Donghyuck hamil—sering dipakai kekasihnya sampai rasanya Mark hampir gila. Namun di balik senyuman itu, Mark di lain sisi terdiam. Mata bengkak nan sembab yang tadi ia lihat, yang membuat pucuk hidung bulat itu memerah—jelas bahwa Donghyuck telah menangis, menyisakan sebekas basah air mata di kain satin rok mini kesukaannya.
—
Mark memiliki kebiasaan sebelum tidur yang timbul semenjak Donghyuck hamil, yang sebenarnya juga menjadi kebiasaan Donghyuck sebelum ia dapat tidur nyenyak. Mengelus perut Donghyuck, itulah hal wajib untuk menutup hari mereka. Jadi ketika Mark sudah selesai membersihkan diri, mematikan semua lampu apartemen dan memastikan semua jendela dan pintu telah terkunci, ia memasuki kamarnya lalu mendapati Donghyuck tidak tidur (atau lebih tepatnya ia telah tertidur—dilihat dari jejak saliva di pipinya—kemudian kembali terbangun). Lelaki itu terduduk termenung sambil bersandar di kepala ranjang mereka.
“Tidak tidur?” Tanya Mark sambil naik ke ranjang mereka lalu duduk di samping Donghyuck.
Donghyuck tak menjawab, dan seharusnya tidak menjawab karena Mark tentu saja tau sendiri kenapa dia tidak bisa tidur.
“Ayo tidur,” ucap Mark. “Sudah hampir tengah malam,” Mark membaringkan dirinya, membuka selimut untuk dirinya dan juga Donghyuck.
Donghyuck tanpa berkilah juga turut berbaring. Ia masuk ke dalam selimut, tertidur terlentang seperti biasa demi keamanan perutnya.
Seperti biasa pula tangan Mark menyelinap masuk ke dalam selimut, menaruh tangan lebar nan hangat itu di atas perut buncit berbalut kaos kebesaran-milik-Mark nya Donghyuck. Lalu senada dengan suara detik jam, Mark elus perut besar itu.
Mark sangat menyukai sesi menghabiskan hari mereka yang seperti ini. Ia tak hanya bisa berduaan melepas lelah bersama kekasihnya, tapi juga bisa melepas sayang nan rindu pada bayi mereka yang kadang menendang kala Mark elus perut induknya. Juga di saat seperti ini, ia dan Donghyuck bisa semakin intim, saling berbagi cerita, saling berbagi pelukan, saling berbagi cinta.
Donghyuck adalah orang yang hebat. Ia telah berjalan dengan Mark 5 tahun lamanya. Ia tetap percaya dengan Mark walaupun Mark telah menghamilinya tanpa konsen dari keduanya. Jika dilihat dari luar, Mark lah pihak yang tampak sangat disusahkan—ia harus mencari kerja yang lebih layak demi bisa menafkahi Donghyuck yang mulai cuti dari pekerjaannya hingga harus meyakinkan kedua belah pihak keluarga bahwa mereka bisa membangun keluarga. Tapi dalam faktanya Donghyuck juga sama kesusahannya dengan Mark. Walaupun ia tak perlu bekerja lagi, walaupun ia hanya perlu duduk bersimpuh kala ia dan Mark mendatangi rumah orangtua mereka—ia juga sama kesusahannya. Donghyuck tak pernah mengharapkan kehamilan, berkah yang didatangkan untuk mereka terlalu tiba-tiba—tapi ia senang. Tapi ia juga belum mempersiapkan diri. Badannya membengkak, pinggulnya melebar, dadanya membesar, bahkan jejeran stocking yang ia punya tak bisa lagi muat sampai naik ke pahanya. Jika ia tidak hamil, ia bisa saja dengan mudah menurunkan berat badannya secara drastis dalam waktu seminggu, tapi kali ini ia hamil, ada nyawa lain yang ada di dalam dirinya.
Rasanya sedih saat ia berkaca lalu melihat dirinya yang rasanya tak ia kenali lagi. Rasanya menjijikkan juga saat melihat stretch mark yang ada di perutnya, di perut bulatnya yang Donghyuck pun begitu takut untuk melihatnya. Sangking tak sanggupnya ia melihat badan sendiri, ia pun menenggelamkan badannya di pakaian-pakaian Mark yang begitu besar—meninggalkan semua pakaian manisnya yang baru saja membuatnya menangis karena rindu—berharap tak ada orang yang sadar akan badannya
“Aku hanya ingin kau tau bahwa kau cantik,“
Itu ucap Mark sambil tangannya mengelus perut Donghyuck, merasakan kasarnya stretch mark tanda perjuangan Donghyuck di bawah telapak tangannya.
Donghyuck tersenyum, ia tersenyum pada kecupan singkat Mark di pipinya. Lalu malam itu Donghyuck tidur di dekapan Mark dengan air mata penuh syukur karena ia telah bertemu Mark, disayangi Mark, dimiliki Mark.
Ada sesuatu tentang Mark.
Sesuatu tentang dirinya yang terus membuat Donghyuck bangkit, membuat Donghyuck merasa layak. Donghyuck tak pernah tau bahwa cinta cocok untuknya, tapi Mark hadir memberikannya cinta, memberikannya kasih dan seisi dunia untuknya.
Ada sesuatu tentang Donghyuck, sesuatu tentang cintanya pada Mark.