Dear Kakak,

Apa kabar, Kak?

Mungkin kurang lebih sudah hampir 10 tahun kita tidak bertemu, bertegur sapa, bersua layaknya keluarga. Sebelum Kakak bertanya, kabar adek baik-baik aja. Walaupun agak stres sama kuliah tapi yah, I'm doing good.

Waktu itu adek masih kelas 6 SD, waktu itu adek baru pulang terobosan—waktu itu… waktu Kakak pergi dari rumah. Kakak pamit, Kakak bilang kalau Kakak mau tidur di rumah nenek sebentar. Kakak waktu itu mau meluk adek bilang kalau Kakak lusa balik. Tapi adek takut, Kak, adek takut ngeliat muka Kakak yang udah babak belur—penuh luka, penuh bekas pukul, bekas darah dimana-mana—alhasil adek tidak berpelukan dengan Kakak, tidak berpamitan dengan Kakak, bahkan tak mau melihat wajah Kakak yang udah bonyok. Ibu juga waktu itu menarik adek agar lekas masuk, meninggalkan rentangan pelukan Kakak tak tersahut di teras depan.

Adek menyesal. Seharusnya waktu itu adek peluk Kakak erat-erat. Adek cium kening Kakak yang tak tersentuh luka. Adek bisikkan kata sayang. Adek tarik Kakak untuk juga masuk kembali ke dalam rumah, tertidur di rumah hangat kita—Adek menyesal, itu terakhir kalinya adek melihat Kakak. Kata 'akan kembali' yang Kakak ucapkan itu tak bersambut, Kakak tak pernah pulang lagi.

Adek masih mengingat lekat hari itu. Hari yang kelam bagi semuanya. Pagi setelah Kakak pergi, Ibu bagaikan orang linglung, Ayah mengurung diri di kamar, Abang tak ingin lagi bicara sama Ibu dan Ayah. Adek sendiri, duduk di meja makan menunggu sarapan Ibu, namun rupanya sampai jam makan malam pun Ibu tetap terdiam, duduk dengan linglung berdoa siang ke malam, entah meminta hal besar apa sampai-sampai terkadang ia menangis kencang.

Ayah lebih ketat pengawasannya pada kami. Semua teman-teman dekat Abang diusir, Abang benar-benar hampir tak memiliki teman dekat. Adek juga diantar jemput, tidak boleh keluar ketemu dengan teman, bahkan Adek sering dikeluarkan dari kelompok belajar karena jarang datang kerja kelompok. Hal ini bahkan berlangsung sampai Adek SMA.

Setelah itu tak ada yang berubah. Semuanya tetap sama. Ayah dan Ibu masih bak kehilangan pijakan bumi. Abang masih begitu benci dengan keluarga ini. Dan Adek masih tak mengerti apa yang terjadi. Satu hal pasti yang adek tau; semua foto Kakak di rumah dicopot, piagam dan piala Kakak di keluarkan dari lemari kaca ruang tamu—'Kakak udah tidak ada lagi' kata Abang waktu Adek bertanya kenapa.

Dan saat itulah, dengan polosnya Adek berpikir, dengan polosnya Adek menangis, menangisi Kakak pertama Adek yang Adek pikir telah tiada, telah mati.

Sampai saat Adek SMP, saat Adek, Ibu, dan Ayah berkunjung ke rumah Oom. Itu pertama kalinya Ibu dan Ayah keluar rumah, mulai berani berinteraksi dengan keluarga. Namun mungkin di hari itu juga Adek mengerti kenapa Ibu dan Ayah sama sekali tak ingin keluar rumah. Daripada disambuh hangat, dijamukan teh, atau kue kering, Ibu dan Ayah malah disambut dengan cemoohan Oom dan Tante. Dimulai dari bahasan Abang yang tak kunjung mendapatkan kerja, hingga tibalah ke bahasan Kakak. Mereka mencemooh kakak, mengata-ngatain kakak dengan bahasa yang tak sopan. Adek pikir Kakak telah tiada, sungguh tak sopan berbicara tentang ornag yang tiada dengan cara begitu. Namun satu ucapan dari Oom nomor dua sudah cukup membuat Adek terbangun, Adek terbuka, Adek akhirnya tau segalanya.

Kakak tak sesuai keinginan mereka.

Hanya sampai di sanalah batas sabar Ibu dan Ayah berada. Mengucapkan permisi, mereka lalu pergi, menarik Adek untuk langsung pulang ke rumah—dan hanya sampai di batas itu juga ketidaktahuan Adek berada. Adek akhirnya tau, Kakak itu masih ada, namun Kakak dimatikan.

Jikalau Adek tau pun Kakak masih ada, tak ada hal yang bisa Adek lakukan. Adek kadang berharap, semoga suatu saat ada ojek yang datang ke depan rumah mengantar lelaki dengan senyum lebarnya, ada sebuah tas gunung besar bau yang tertonggok di depan kamar mandi, atau aneka macam kue-kue manis yang tersaji di atas meja—persis seperti saat Kakak pulang dari kuliah dulu. Namun semuanya hanya harapan, hanya angan Adek ketika lelah menuntut ilmu demi mengejar cita-cita Adek untuk menjadi pelukis di luar negeri.

Lalu sekarang Adek di sini. Jam 3 malam di apartemen kecil di Brooklyn. Sebuah perjuangan agar Adek bisa sampai di sini. Ayah itu patriarkis, Adek lulus SMA aja sebenarnya sudah syukur. Jikalau tidak atas bantuan Abang, mungkin Adek sekarang… entahlah, sudah beranak dua mungkin…?

Secara mengejutkan, 3 bulan yang lalu, Adek menemukan sebuah kontak email di sebuah kemasan kue. Kue-nya dari Kanada katanya, dari teman Adek yang habis berlibur di Vancouver. Sebuah kemasan sederhana yang membuat mata Adek bergetar. Nama merek kue itu terpampang sederhana di tengah-tengah kemasan. Adek mengenali nama tersebut, nama itu hanya satu, nama unik dengan makna dalam, nama yang jarang sekali orang pakai—nama Kakak, Adek yakin itu nama Kakak.

Adek pun menyimpan kemasan plastik tersebut. Hendak mengontak namun masih takut. Entah itu takut salah sambung, entah itu takut karena berdebar, entahlah, intinya Adek belum sanggup. Hingga suatu hari sebuah telepon berdering di jam 4 pagi yang berisikan suara isakan tentang Ayah yang telah tiada.

Kepala Adek memening. Mengemas barang dengan air mata, Adek pun bersiap pulang, menuju tempat dimana orang tercinta Adek berada. Namun sebelum itu, Adek juga tak lupa mengirimkan pesan kepada orang yang Adek cintai. Orang yang selama ini Adek pegang kontaknya namun masih tak berani untuk tersambung. Pesan-pesan kemarin yang belum Adek kirim karena takut, Adek jadikan satu—berisikan ucapan manis penanya kabar, sebelum akhirnya bagian akhirnya Adek tambahkan, berisi air mata dan keputusasaan. Begitulah akhirnya anak kecil berusia 12 tahun yang masih suka bermain dengan Barbie nya mulai tersambung kembali dengan Kakak lelaki pertamanya yang suka membelikannya donat setiap pulang kuliah.

Hidup kami tidak pernah lebih baik tanpa Kakak. Semuanya bersikap seakan baik-baik saja namun sebenarnya semuanya sudah mati di dalam, ego telah memakan mereka.

Adek tak pernah menyalahkan Kakak. Adek tau, Kakak sudah lebih tau mana yang baik dan mana yang buruk. Sebenarnya apapun kejadiannya, Kakak itu tetaplah Kakak, Kakaknya adek. Adek hormati tiap pilihan Kakak, jadi jangan tanya “kamu ga benci sama Kakak, Dek?” ke Adek lagi ya Kak, Adek gak ada hak untuk membenci

Adek senang mendengar Kakak bahagia di sana, Kakak layak mendapatkan kebahagiaan Kakak. Namun Adek rindu, Kak. Adek rindu Kakak. Rindunya sama seperti saat Kakak pergi kuliah dulu. Maka dari itu, jika Adek sudah libur kuliah nanti, apa Adek boleh pulang ke Kakak? Adek ingin melihat keponakan Adek yang lucu (tidak puas jika hanya melihatnya melalui gambar saja, Adek juga ingin mencium pipinya!) dan juga Abang Ipar Adek yang kata Kakak tampan sekali itu hahahaha.

Sekian Kak, balas secepatnya, ya. Mohon maaf jika suratnya panjang, Adek hanya ingin mengucapkan happy birthday Kakak, tiada cerita tanpa Kakak, tetap bahagia dan Adek sayang Kakak.

xoxo,

SY.