Di sudut kafe yang hangat di pinggir kota itu, Jaehyun terduduk bingung menatap Johnny. Sederet hasil jepretan ada di atas meja, berbagai informasi pun tertuang begitu saja untuk Jaehyun cerna.

Pacarnya selingkuh. Calon mate-nya selingkuh. Begitu kata Johnny.

“Dia pergi ke mall dengan omega lain … kalian sudah mating kan …? Kenapa dia … kenapa dia pergi merangkul omega lain ….”

Jaehyun hanya terdiam membisu. Matanya nyalang menatap foto buram yang Johnny cetak. Tangannya terangkat untuk memegang foto itu, menelaah foto itu lagi, meyakinkan dirinya bahwa itu bukan pacarnya.

Mana ada itu pacarnya. Mana mungkin calon mate-nya berkelaku demikian. Mereka sudah hampir setahun bersama, mereka sudah merencakan pernikahan dan masa depan—mana mungkin bisa begini … Johnny bohong.

Jaehyun memang harus mengakui bahwa Johnny terlalu kelewatan sekarang. Walaupun ia teman sedari kecil Jaehyun, walaupun tiap harinya pasti ada Johnny, walaupun Johnny lah yang tau semua isi hati dan cerita hidupnya—tapi Johnny hanyalah Johnny. Dia hanya teman Jaehyun … walaupun Jaehyun tau Johnny tak begitu suka pacarnya, tapi Johnny hanyalah Johnny, dia tak berhak untuk bertindak sampai segininya.

Dengan tatapan dingin, Jaehyun menatap Johnny, menunjukkan amarah dirinya. “Aku tak melihat apapun,” ucapnya. “Ceritamu tak jelas,”

Johnny menghela nafas mendengar jawaban Jaehyun. “Itu benar, pacarmu—”

“Bukan. Kalaupun iya itu pacarku, pasti itu temannya. Apa tak boleh ia main dengan temannya? Dia saja memperbolehkan kita bertemu tiap hari, dan kita hanya teman,”

Johnny menggelengkan kepalanya kepada Jaehyun. “Itu selingkuh—”

“Mana mungkin!” Jaehyun sekarang benar-benar memberang marah. “Dia tak selingkuh!”

Tapi tampaknya Johnny masih saja kekeuh. Matanya masih tampak mantap menatap Jaehyun iba, helaan nafasnya masih lemah terdengar seakan hendak membuat Jaehyun iba dan mendengarkannya sekali saja.

Tapi tidak, Jaehyun tak akan iba. Jaehyun tak akan mendengarkan apapun. Johnny konyol, apa yang dikatakannya konyol. Bagaimana bisa ia sekonyol ini? Mau menghancurkan hubungannya dengan sang pacar dengan cara begini. Mau menyingkirkan sang pacar hanya karena Johnny tak menyukai pacarnya. Padahal mereka sudah lama bersama, seharusnya Johnny senang—harus teramat senang—kepada hubungan barunya, kepada cinta barunya yang ia temui di bar kala itu. Tak mudah untuk mendapatkan belahan jiwamu di tempat umum, seharusnya Johnny senang pada apa yang Jaehyun dapatkan kala itu. Dan sekarang mereka sudah setahun bersama, Johnny sama sekali masih tak senang pada alpha yang ia cintai itu.

Kenapa … kenapa tak ada yang suka pada pacarnya? Kenapa banyak yang tak setuju akan dirinya dan pacarnya? Kenapa tak ada orang terdekatnya yang percaya kepadanya bahwa ia telah memilih pilihan yang benar, bahwa pacarnya adalah cintanya yang benar. Kenapa tak ada yang percaya padanya? Kenapa tak ada yang berpihak padanya? Kenapa … kenapa ….

“Kenapa kamu sebenci itu dengan dia? Kenapa tak ada orang yang setuju jikalau aku menjalin hubungan dengan orang yang memang aku cinta?”

Johnny menghela nafas untuk kesekian kalinya. “Bukan begitu, tapi dia memang seling—”

“Berhenti ngomong begitu!” Jaehyun berseru marah. Mukanya mulai memerah berhias tangis. “Dia tak selingkuh …. Kamu sepengen itu memisahkan kami? Kenapa? Kita memang udah berteman lama, tapi ini tak wajar. Kamu tak mau aku bahagia kan? Kamu mau melihatku hancur, menghancurkan masa depanku ….”

Tangis Jaehyun pun pecah. Johnny panik mendengar tiap kalimat bergetar yang keluar dari mulut Jaehyun. “Bukan, bukan begitu.” katanya berusaha mengelap tiap air mata Jaehyun. Tapi sebelum Johnny bisa menenangkan tangis sedih Jaehyun, omega itu telah lebih dulu bangkit, tak mengucapkan salam sama sekali, Jaehyun pun pergi meninggalkan Johnny.

⭒☆━━━━━━━━━━━━━━━☆⭒

Benar, Johnny memang selama ini tak suka dengan pacarnya Jaehyun itu.

Mereka bertemu di tempat paling absurd di dunia ini—di bar—lalu hanya dalam 2 kali perkenalan, Jaehyun pun berlari berteriak heboh pada Johnny, “aku punya pacar!”

Bagaimana bisa Johnny merestui Jaehyun begitu saja? Bagaimana bisa Johnny merelakan Jaehyun begitu saja? Bagaimana Bisa Johnny melepaskan cintanya pada Jaehyun begitu saja?

Sudah puluhan tahun Johnny berdiri di samping Jaehyun, menjadi teman terbaiknya, menjadi alpha pelindung omega itu, menjadi pendamping hidupnya—tapi sampai situ saja. Bahkan saat Johnny sudah dengan lantang berkata, “aku mungkin suka denganmu,” saat SMA dulu, Jaehyun menganggap ucapannya itu sebatas candaan, sebatas omong kosong belaka.

Johnny memang suka bercanda, dia memang selalu suka melihat lesung pipi itu timbul karena candaannya, tapi Johnny tak bercanda. Ia suka Jaehyun, sangat suka Jaehyun. Hatinya hancur berkeping-keping rasanya saat mendengar kabar bahwa Jaehyun akan segera mating dengn alpha itu.

Johnny tau ada yang salah dengan alpha itu. Perasaannya berkata demikian. Dia tak berniat memata-matai tapi alpha itu lah yang menunjukkan warna belangnya sendiri di hadapan Johnny, berjalan di mall tempat di mana restoran Johnny berada, tak hanya sekali, bahkan berkali-kali. Kata salah satu staff-nya, omega yang alpha itu rangkul adalah karyawan salah satu tenant di sana.

Alpha Jaehyun telah selingkuh. Berkali-kali tanpa malu bermesraan di tempat umum. Tak bisa dibiarkan, Jaehyun harus diselamatkan, maka dengan begitulah foto bukti konkrit itu dicetak.

Tapi malangnya Johnny, Jaehyun masih saja tak memilih dia.

⭒☆━━━━━━━━━━━━━━━☆⭒

Jaehyun sakit. Sudah dua hari dia demam sampai muntah-muntah, sudah berapa kali dia tidur lemas di kasurnya sama sekali tak hendak bergerak.

Jaehyun sakit dan tak ada satu pun orang yang merawatnya!

Ini semua karena dia bertengkar dengan Johnny!

Biasanya Johnny akan bertanya tentang keadaannya tiap hari, dan jika Jaehyun bilang di sakit maka jeng jeng jeng! Johnny pun akan langsung datang di pintu rumahnya sambil membawakan sup dan obat-obatan. Tapi sekarang Johnny tak mengabarinya lagi! Jaehyun pun tak ingin berbicara dengan Johnny sekarang, mereka kan sedang bertengkar! Lagian Johnny menyebalkan, Jaehyun masih belum bisa memaafkannya karena menuduh pacar Jaehyun—

Oh ya, kan Jaehyun punya pacar.

Jaehyun terkekeh sendiri di atas kasurnya saat sadar bahwa ia sudah 2 hari tidak berkontakan dengan pacarnya. Ya karena Jaehyun sakit, dia tak bisa membuka ponselnya maka dari itu mereka tak bisa bertukar pesan. Juga karena pacarnya akhir-akhir ini sibuk jadi dia sama sekali tak tahu menau soal pacarnya. Huft. Setelah sekian usaha dia membela alpha-nya itu dari tuduhan Johnny, yang dia dapatkan selanjutnya hanyalah ini. Hanya cetang satu pada pesan yang sudah terkirim. Jaehyun memajukan bibirnya—dia rindu pacarnya!

“Aku lagi di kantor … kenapa?”

Muka Jaehyun yang sempat cerah sebab akhirnya kembali mendengar suara pacarnya, seketika langsung cemberut seperti semula saat mendengar sekian ribu alasan itu kembali.

“Aku sakit!” Saut Jaehyun meminta perhatian.

“Ya sudah beli obat. Aku sibuk, nanti telepon aku lagi ya,”

Lalu panggilan itu pun terputus.

Jaehyun sempat terdiam sekejap menatap ponselnya, menatap sebal panggilan yang diputus sepihak itu. Namun saat akhirnya ia mulai batuk-batuk lagi, kepalanya mulai seperti seakan berputar kembali, Jaehyun pun turun dari kasur. Tak bisa begini, dia akan mati jikalau begini. Dia harus beli obat.

⭒☆━━━━━━━━━━━━━━━☆⭒

Aneh menurut Johnny jika mereka harus bertemu di sini.

Sekarang sudah hampir 2 hari semenjak ia sama sekali tidak berkomunikasi dengan Jaehyun dan lihat—lihat siapa yang ada di depannya sekarang!

Jaehyun. Jaehyun!

Aneh … kenapa dia bisa sampai di sini …? Ini bukan daerah tempat tinggalnya—rumahnya berjarak 20 menit jalan kaki dari sini—kenapa dia bisa sampai berkeliaran di sini? Lagian—hey, kenapa dia masuk ke toko apotek? Apa dia sakit?

“Obat demam dan obat batuk tolong,” adalah apa yang dapat Johnny dengar saat ia masuk mengekor ke dalam apotek itu.

Johnny awalnya tak berani mendekat tapi saat kemudian Jaehyun batuk-batuk begitu kencang sampai badannya bergetar-getar—Johnny pun mau tak mau mengelus punggung Jaehyun, membuat omega yang membelakanginya itu tersentak terkejut. “Kamu—!” tak butuh waktu lama untuk Jaehyun menoleh ke arahnya lalu melotot kaget.

Seharusnya Johnny tertawa bercanda berucap basa-basi “aku barusan pulang kerja kemudian melihatmu” sebagai pembelaan diri. Tapi bibirnya langsung terkatup khawatir saat melihat perawakan Jaehyun yang ada di depannya sekarang.

“Kamu sakit apa?” tanya Johnny lirih.

Jaehyun tampak memutar matanya malas. “Bukan apa-apa,” ucapnya singkat. Lalu seakan tampak sama sekali tak ingin berbicara dengan Johnny lebih lanjut, Jaehyun bergegas mengambil obat yang sudah ia bayar lalu berlalu melewati Johnny.

“Hey, kalau kamu sakit setidaknya beri tahu—“

“HUEKK!”

Ucapan Johnny itu terpotong sebab bahkan belum ada 5 langkah keluar dari apotek, Jaehyun telah dulu goyah, menunduk ke lantai kemudian mual-mual.

“Kita ke dokter,” begitu ucap Johnny kemudian memapah Jaehyun ke dalam rangkulannya.

⭒☆━━━━━━━━━━━━━━━☆⭒

Itu hanyalah klinik dokter biasa yang tak jauh jaraknya dari apotek tempat Jaehyun pergi tadi. Ia diperiksa seperti biasa, ditanya-tanya soal keadaannya seperti biasa. Tapi setelah semua pertanyaan tentang keadannya ia jawab, sang dokter malah menyuruh Jaehyun untuk berbaring di kasur pasien.

“Mari kita USG,” katanya.

Jaehyun yang kebingungan malah semakin bingung saat sang dokter tiba-tiba berucap, “usia kandungannya sudah sebulan lebih.”

Tak hanya Jaehyun saja yang bingung, tentu saja Johnny yang sedari tadi mengekor dan membawanya ke sini langsung mengerutkan keningnya panik. “K-kandungan …?” tanyanya.

“Iya, omega anda sedang hamil, selamat.”

Satu kata penuh kalimat bahagia itu sudah cukup untuk membuat baik Johnny dan Jaehyun terdiam seribu bahasa. Tak ada yang berbicara setelahnya. Hanya sang dokter lah yang sedari tadi berbicara penuh semangat, penuh suka akan hal yang sedang dialami Jaehyun.

Jaehyun tertunduk, Johnny tampak mengerut linglung terus-terusan mencuri pandangnya kepada Jaehyun.

Keduanya sama sekali tak tau untuk beraksi apa bahkan sampai saat konsultasi itu selesai.

⭒☆━━━━━━━━━━━━━━━☆⭒

Jaehyun hamil.

Ia hamil rupanya.

“Sebulan yang lalu aku sempat tidur ….” akunya. “Aku bagaimana … kapan aku harus bilang ke dia …?” gusarnya.

Tak banyak yang bisa Johnny lakukan selain berpikir. Kepalanya berputar, dunianya bak berhenti. Pandangnya memudar berpikir apa yang sedang terjadi sekarang, berpikir apa yang akan terjadi pada Jaehyun setelah ini.

Dia hamil, hamil anak pacarnya yang telah selingkuh dari dirinya.

Oh kini rasanya Johnny berharap bahwa pacar Jaehyun sebenarnya tak selingkuh, betapa ia berharap bahwa apa yang telah ia lihat dan ketahui tempo hari lalu hanya omong kosong belaka.

Apa yang akan terjadi selanjutnya …? Apa yang akan lelaki itu lakukan …? Apa lelaki yang selingkuh dari Jaehyun itu pantas untuk mendapatkan ini? Apa dia akan menerima semua ini?

Rahang Johnny rasanya mengeras. Tangannya terkepal kencang memikirkan kemungkinan apa saja yang akan Jaehyun hadapi kedepannya.

“Kemana …?” begitu suara lemah Jaehyun terdengar saat Johnny pergi berlalu melawatinya.

Johnny tak menjawab pertanyaan Jaehyun. Bahkan ia sama sekali tak menoleh pada dirinya. Kebingungan Jaehyun semakin bertambah saat Jaehyun melihat Johnny berbelok ke arah lorong yang mengarah entah ke mana lalu,

Brak!

Pintu pun tertutup kencang.

Jaehyun sempat hendak menggedor pintu bertanya kenapa Johnny masuk ke dalam sana, tapi saat ia melihat tanda ‘wc’ di depan pintu itu, ketukannya itu pun ia tahan. Oh, Jaehyun linglung, sangking linglungnya ia bahkan tak sadar plang ‘WC’ yang tergantung besar di langit-langit.

Jaehyun bingung ia harus bagaimana sehabis ini. Bagaimana cara menghubungi pacarnya, bagaimana cara merayakan kehamilannya ini? Apa tinggal telepon saja? Atau Jaehyun perlu chat sekarang—eh ini tidak seru, Jaehyun harus menyiapkan sesuatu yang besar. Ini adalah kabar yang besar, dia harus mengadakan kejutan besar-besaran untuk pacarnya. Apa dia ajak saja pacarnya untuk makan malam berdua kemudian di sana lah dia akan mengejutkan pacarnya. Ya bisa bisa, sebentar lagi akhir pekan, Jaehyun hanya perlu mengontak pacarnya, melakukan reservasi, menunjukkan hasil test pack—astaga! Dia tidak punya test pack. Dia harus beli test pack sehabis ini—lalu kabar gembira itu pun bisa ia berikan kepada pacarnya. Jaehyun rasanya semakin linglung memikirkan makan malam indah itu, memikirkan betapa bahagianya mereka nanti, memikirkan reaksi pacarnya, memikirkan langkah-langkah selanjutnya yang akan mereka ambil nanti, entah itu mating, pertunangan, atau bahkan jika pacarnya mau, mereka bisa menikah bulan ini juga!

Oh betapa linglungnya kepala Jaehyun dipenuhi dengan suka cita dan kesenangan. Dia tak menyangka bahwa akan seperti ini, bahwa hal ini akan terjadi, bahwa dia dan alpha-nya akan bersatu karena bayi mereka, karena bayinya yang sudah bertumbuh di dalam dirinya …. Jaehyun tak bisa untuk tak tersenyum malu-malu mengelus perut ratanya. Ia sama sekali tak sadar bahwa dirinya hamil, ia kira ia hanya sakit biasa. Mereka sama sekali tak merencanakan ini, bahkan Jaehyun tak yakin kapan alpha-nya menghamili dirinya … kau tau, sebulan yang lalu adalah bulan yang cukup panas untuk mereka berdua. Oh, alpha nya itu bahkan tidur seminggu penuh di apartement Jaehyun! Mana mungkin Jaehyun ingat kapan tepatnya alpha-nya menghamili dirinya tapi yang jelas, ini adalah hasil buah cinta mereka sebulan yang lalu.

Prang!

Senyum malu-malu Jaehyun langsung terjatuh saat mendengar suara keras itu dari dalam kamar mandi. Itu suara kaca. Suara kaca pecah. Johnny ada di dalam sana! Apa dia tak apa-apa?! Muka Jaehyun berkerut panik, para perawat dan pasien pun tampak mulai kebingungan mengerubungi area kamar mandi.

“Ada orang di dalam sana?” tanya seorang perawat kepada Jaehyun.

Jaehyun mengangguk. “Temanku,” jawabnya cepat.

Sang perawat mengetuk pintu, dan yang membuat Jaehyun semakin panik adalah tiada satu pun jawaban dari dalam sana. Apa Johnny tak apa-apa? Apa dia pingsan? Apa dia terluka?!

Brak!

Setelah beberapa kali ketukan tanpa balasan, akhirnya pintu kamar mandi itu didobrak.

Dan betapa histerisnya Jaehyun mendapati Johnny berdiri menghadap wastafel dengan darah segar yang mengucur dari tanggannya. Kaca kamar mandi di depannya tampak hancur lebur berlumuran darah.

“JOHNNY!”

Jaehyun berseru ketakutan.

Johnny yang dipanggil hanya membalikkan badannya menatap Jaehyun dengan pandangan tak terbaca, lalu ia berjalan ke arah Jaehyun mengabaikan para perawat dan pasien yang heboh melihat keadaannya.

“Aku … hanya marah, maaf,”

Lirih Johnny sebelum dirinya ditarik oleh para perawat untuk diobati dan dimintai tanggung jawab.

⭒☆━━━━━━━━━━━━━━━☆⭒

Jaehyun bersumpah bahwa dia tak akan bertemu dengan Johnny lagi. Marah akan kehamilan dirinya? Marah akan karunia yang diterima dirinya? Marah karena hasil cintanya? Marah akan bayinya?! Siapa dia … dia kira dia siapa?

Tak ada yang berhak marah akan anaknya, tak ada yang berhak kecewa karena karunia yang ia terima.

Semuanya harus bahagia, ini adalah karunia, sewajarnya semua orang bahagia akan dirinya.

Plak!

Tapi Jaehyun salah. Satu tamparan ia terima di pipinya.

“Kau berusaha menjebakku?!” begitu seruan keras pacarnya berdengung di kepalanya. Jaehyun tak bisa membalas sepatah katapun karena setelahnya sang pacar malah melemparkan kunci apartemennya, melemparkan kunci yang digunakannya untuk datang ke apartemen Jaehyun memeluk Jaehyun kapanpun dia suka.

“iya, kalau aku pergi dengan yang lain dan ga mau kamu gimana? aku udah ga ada rasa sama kamu.”

Bahkan rasanya Jaehyun tak bisa bernapas dengan benar saat mendengar pengkuan pacarnya itu. Ia tadi hanya kebablasan berucap, “kamu benar-benar selingkuh dari aku?” karena ia marah. Ia tak mengharapkan sebuah balasan … ia tak mengharapkan ini ….

“Kamu bilang kamu hamil? Selamat, tapi itu bukan anakku. Manatau itu anak Johnny sang alpha sejatimu itu, lebih baik kamu temui dia,”

Maka dengan begitu lah, pacar Jaehyun pun pergi dari hadapan Jaehyun.

Jaehyun sendiri. Ia ditinggal sendiri.

Hubungannya dan Johnny pun sudah cukup buruk sampai sini. Ia benar-benar sendiri.

Semuanya marah pada dirinya, semuanya benci pada dirinya, semunya berbalik muka pada keadannya.

Tak ada yang boleh marah pada keadannya, walaupun ia sekarang tampak menyedihkan, tapi tetap, tak ada satupun yang bisa marah pada keadannya.

Kecuali dirinya. Hanya dirinya sendiri lah yang berhak untuk marah.

Kini Jaehyun tengah menunduk di pintu depan apartemennya. Air mata mengering, pandangnya kosong menatap dinding. Test pack warna pink yang ia harap bisa menjadi kabar penting kini menggantung tak ada arti di tangannya.

Jaehyun marah … ia marah pada semua yang ada di dirinya sekarang.

Tak terasa air mata yang tadi mengering kini pecah kembali, jatuh deras membahasi pipinya yang memerah bekas tangan pacarnya. Di lorong depan pintu apartemennya itu Jaehyun mengerang sedih, memukul-mukul perutnya marah—marah akan dirinya, marah akan keadannya, marah akan hasil cintanya.

⭒☆━━━━━━━━━━━━━━━☆⭒

Jaehyun tak tau masa depan apa yang ada untuknya.

Dia telah hancur. Ia telah dibuang. Rasanya tak ada lagi masa depan yang ada untuk dirinya.

Apa yang ia harap akan menjadi suatu berkah dan kabar besar kini malah menghancurkan dirinya, menghancurkan semuanya. Apa yang membuatnya kembali bersemangat, membuat ia merasa bahagia, membuat dirinya tak tidur karena kesenangan kini malah membuatnya kecewa, tampak menyedihkan, dibuang lalu dihempas begitu keras.

Bekas tamparan keras yang pacarnya berikan untuknya sehari yang lalu rasanya masih terasa sampai sekarang. Kata-kata pacarnya yang menghantam dirinya pun masih tengiang begitu jelas di telinganya sampai sekarang.

Jaehyun hancur. Hancur berkeping-keping tak ada satu pun orang lagi yang berada di sisinya.

Orang yang paling ia sayang, paling ia percayai, yang ia sangka dapat bekerja sama membangun masa depan dengan dirinya kini telah berpaling dari dirinya. Pacarnya tak menginginkan dirinya … tak menginginkan anaknya. Lantas siapa yang mau menerima dirinya? Jika pacarnya saja menolak dirinya … lantas siapa …?

Jaehyun bingung, kepalanya rasanya mau pecah memikirkan tiap-tiap keadaan yang sedang ia alami sekarang.

Jika saja hal ini tak terjadi, jika saja anak ini tak ada, jika saja mereka tak bercinta malam itu, hal ini tak akan terjadi kan?

Jaehyun … juga tak ingin anak ini.

Ia tak suka dengan dirinya sekarang. Ia tak mau hamil, ia tak mau anak ini, ia tak mau mengandung anak ini. Jikalau saja anak ini hilang, pacarnya akan kembali bukan? Semuanya akan kembali seperti semula bukan?

Jaehyun dengan keras memukul perutnya, berharap dengan penuh amarah agar semua lelucon tiba-tiba ini berhenti, berharap bahwa ia sebenarnya sedang tidak hamil lagi.

“ … Jaehyun …! Jaehyun! Kamu ngapain?!”

Mungkin Jaehyun terlalu mendekam di atas tempat tidurnya sampai tak sadar bahwa ada Johnny yang berlari ke arahnya berteriak panik. Tangannya dicegat Johnny begitu keras, dari kelamnya kamar ini, dari balik matanya yang berair, Jaehyun bisa melihat muka Johnny berkerut ketakutan.

“K-kenapa di sini?!” tanya Jaehyun.

Hubungannya dan Johnny sedang tak baik. Tak ada alasan ia ke sini mencegat Jaehyun begini.

“Kamu udah ga makan berapa lama?” bukannya menajawab, Johnny malah bertanya balik. Pandangannya melembut, tangan Jaehyun yang ia pegang erat pun dengan perlahan ia lepas.

“Aku ga mau kamu di sini, aku marah, kamu tau,” Jaehyun menjawab ketus.

Johnny hanya tersenyum lalu mengusak rambut Jaehyun. Ia berdiri di sisi tempat tidur Jaehyun lalu berucap, “ibumu menitipkan lauk kepadaku, dia bingung kamu kemana tak bisa dihubungi berhari-hari. Makan lauk dari ibumu kemudian sehabis itu mari telepon orangtuamu, oke?”

Mendengar hal itu, badan Jaehyun bergetar seketika, jantungnya berdegup kencang ketakutan. Ia tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya, tapi sekarang ia baru sadar, ia harus berhadapan dengan orangtuanya, cepat atau lambat.

Dengan tangan yang bergetar, Jaehyun meraih tangan Johnny, menggenggam pergelangan tangannya meminta atensi Johnny.

Walaupun tampak seperti hendak mengatakan sesuatu, Jaehyun pada nyatanya malah terdiam bungkam matanya sayu menatap ke bawah. Tangannya masih berpegang erat pada Johnny seakan tak hendak membiarkan Johnny pergi.

Johnny yang tadi sudah hendak berjalan menjauh dari sisi tempat tidur Jaehyun pun kini berbalik kembali menghadap Jaehyun, menunggu Jaehyun, tau bahwa ada sesuatu yang hendak Jaehyun sampaikan tapi ia belum siap.

Dilihat dari betapa hancurnnya rumah ini, betapa hancurnya Jaehyun kini, Johnny tau bahwa Jaehyun tak bisa menanggung semuanya sendiri.

“Pacarku menampar ku tadi … dia tak ingin anak ini—katanya ini bukan anaknya, katanya dia tak sayang padaku tak suka padaku, katanya dia sudah bertemu dengan orang lain—”

“Hei Jaehyun, bernafas, pelan-pelan, aku mendengarkan,” Johnny berjongkok menatap Jaehyun. Lantas Jaehyun yang sedari tadi menatap ke lantai pun kini bersejajar pandang dengan Johnny. Dari mata itu, Johnny bisa melihat kesedihan dan ketakutan. Melalui mata itu pula lah Johnny meyakinkan Jaehyun untuk bercerita, membagi sakit yang tengah ia rasa.

“Dia tak ingin anak ini—benar katamu, dia … sudah dengan yang lain,” dengan begitulah Jaehyun melanjutkan ceritanya lagi, kali ini lebih tenang, lebih pelan, lebih teratur sebab Johnny sedari tadi mengusap punggungnya, mendampingi dirinya dalam bercerita.

“B-bagaimana, bagaimana bisa aku hidup kalau begini …? Jikalau dia tak mau lalu siapa …? Tak ada … tak akan ada yang menerima ini, orangtua ku sekalipun pasti tak mau semua ini. Jikalau dia saja benci, maka semua orang pasti akan membenci, termasuk orang tuaku pun sekalipun!” Tangis Jaehyun pecah, saat itu pula Jaehyun dapat merasakan dekapan hangat Johnny membalut tubuhnya, tangan hangatnya mengusap kepala Jaehyun, membuat Jaehyun yang tersengal penuh amarah perlahan terdiam redam.

“Siapa bilang tak ada yang menerimamu?” Begitu bisik Johnny dalam pelukan mereka. “Aku, aku ada di sini, kok,”

Jaehyun sontak menarik dirinya dari dekapan Johnny. “Bohong. Kamu marah kemarin,” hardiknya.

Jaehyun hanya bisa melihat Johnny tersenyum, lelaki itu pun hanya menjawab, “aku marah karena sadar apa yang bakalan kamu terima kedepannya dengan kehamilan ini … maksudku … pacarmu bukan orang yang baik,”

Mata Jaehyun yang tadinya menatap Johnny nyalang kini kembali menunduk sedih, “ya, tak akan ada yang menerimaku … bagaimana aku menjelaskan kepada orangtuaku? Apa anak ini … anak ini tak ada saja—“

“Jangan berbicara yang aneh, tak ada yang akan mati di sini.” Johnny memotong Jaehyun. “Orangtuamu pasti akan menerimamu. Semua orang pasti akan menerima bayimu. Tenang saja, serahkan semua kepadaku, aku yang akan maju bertemu orangtuamu,” senyum Johnny kepada Jaehyun.

⭒☆━━━━━━━━━━━━━━━☆⭒

Katakan Johnny bodoh. Datang ke rumah orangtua Jaehyun, berlutut, lalu dengan tegas berucap “Jaehyun hamil … anakku,”

Bahkan Jaehyun yang berdiri bergetar di belakang Johnny terkejut bukan main mendengar penuturan Johnny. Ini bukan sesuatu yang ia harapkan. Ia pikir Johnny hanya akan menemaninya pulang ke rumah, menjelaskan semuanya kepada orangtuanya, dan hanya itu. Ia tak mengharapkan ini.

Satu seruan amarah ayah Jaehyun terdengar kencang menggelegar. “Kau apakan anakku?!” begitu katanya.

Johnny mengangkat kepalanya, menatap ayah Jaehyun lalu berucap lagi dengan lugas, “Jaehyun mengandung anakku,”

Tampak tangan ayah Jaehyun mengepal. Sebelum Jaehyun bisa mencegah apapun untuk terjadi, Johnny telah lebih dulu ditarik ayah Jaehyun, dipukul di pipinya dengan keras sampai Jaehyun berteriak panik.

“Kau adalah teman anakku, bukan ini yang kuharapkan darimu, Johnny,” geram ayah Jaehyun terdengar.

Jaehyun dengan cepat berlari maju mencoba menjauhkan ayahnya itu dari Johnny. Tapi terlambat,

Bugh!

Johnny dipukul lagi dan lagi.

Jaehyun melihat itu hanya bisa menangis. Ayahnya begitu marah. Begitu tak bisa dihentikan. Bodohnya Johnny, dia hanya diam saja di sana tak ada perlawanan, mukanya terus dipukul berapa kali tak ada henti, seakan tak ada arti.

Jaehyun tau bahwa Johnny jauh lebih kuat dari ayahnya. Johnny adalah alpa dominan, dia selalu menjadi yang paling besar, paling kuat, paling segala-galanya di antara semuanya. Tapi kali ini dia tampil lemah, dia tampil tak berdaya dihabisi alpha tua yang tak ada apa-apanya dibanding dia.

Semua ini karena Jaehyun. Hanya untuk Jaehyun. Karena rasa sayangnya pada Jaehyun.

“Aku akan bertanggung jawab untuk Jaehyun,” begitu lirih Johnny saat akhirnya ayah Jaehyun itu kelelahan mengeluarkan amarahnya.

Lalu dengan satu kalimat itu, Johnny dan Jaehyun pun didepak dari rumah orangtua Jaehyun tanpa dibalas satu katapun.

⭒☆━━━━━━━━━━━━━━━☆⭒

Jaehyun sedang mengompres luka lebam Johnny saat alpha itu meliriknya sambil berkata, “pindah ke rumahku,”

Jaehyun yang sama sekali tak fokus pada apapun yang terjadi sekitarnya hanya mengangguk mengiya-iyakan saja. Fokusnya sekarang hanya ada pada Johnny dan luka-lukanya akibat dipukul tadi. Hati Jaehyun begitu perih melihat luka-luka itu, kepalanya sakit melihat berapa banyak luka yang Johnny terima karena perbuatannya.

“Baiklah! Ayo kemas barangmu!”

Tapi kepala Jaehyun lebih sakit lagi saat Johnny tiba-tiba berdiri tegak, menarik tangannya, lalu tertawa seakan ia tak apa-apa! Pipinya bengkak tau! Dia tak boleh tersenyum selebar itu! Lagian … apa?! Pindah ke rumah Johnny?

“Untuk apa?” Jaehyun berkerut penuh tanya. Ia dengan cepat menarik tangannya dari Johnny, mencoba mendorong Johnny balik ke sofa,

“Pindah ke rumahku,” perjelas Johnny lagi. Baru kali ini lah Jaehyun akhirnya mengerti apa arti ucapan Johnny. Ia hanya terdiam, mencerna apa sebenarnya maksud dari kata Johnny itu.

“Untuk apa?” dan pertanyaan itu terulang lagi kedua kalinya.

“Tinggal bersamaku, aku akan tanggung jawab untuk semuanya,”

Perasaan Johnny, dia hanya berucap dengan kata-kata biasa, dengan nada biasa, tak ada kesan sedih, tak ada kesan kecewa, tak ada kesan negatif dari kata-katanya. Tapi entah kenapa ekspresi Jaehyun tiba-tiba meredup. Ia menatap ke bawah dengan wajah sendu tampak sedih.

Johnny yang tadinya sudah bersemangat bangkit dari sofa, kini duduk kembali ke sofa itu, mengangkat muka Jaehyun lalu mendapati bahwa Jaehyun menangis. “Kenapa?” tanya Johnny menghapus air mata itu.

“Kamu luka karenaku … luka di tanganmu saja belum sembuh, kemudian sekarang di mukamu … kamu harus sembuh, jangan bergerak terlalu banyak dahulu,” Jawab Jaehyun, yang mana membuat Johnny tak puas. Tak mungkin Jaehyun menangis karena ini.

“Kamu gak mungkin nangis karena aku luka, jadi kenapa?”

Jaehyun memandang Johnny tak percaya. Setelah apa yang terjadi selama ini, Johnny masih bertanya kenapa … setelah dia terluka begini, Johnny masih bertanya kenapa Jaehyun sedih?

Johnny terluka karena Jaehyun, ia dipukuli seakan tak ada harga diri begini karena Jaehyun. Dari awal pula Johnny telah disakiti oleh Jaehyun. Bagaimana dulu Jaehyun dengan keras hati menolak fakta tentang pacarnya yang telah Johnny beri, lalu ketika Jaehyun sudah sampai hancur begini, Johnny masih ada di sini, menemaninya, bahkan akan bertanggung jawab.

Kenapa … kenapa Johnny begitu baik kepadanya?

“Kenapa kamu baik denganku? Ini semua bukan salahmu, kamu bisa lari, bisa biarin aku sendiri. Aku ga pantas dapat semua ini, aku jahat—”

“Karena aku sayang sama kamu,” satu jawaban Johnny itu membungkam Jaehyun. Ia memandang Johnny tak percaya, matanya mengerjap bingung penuh pertanyaan.

“Selama ini aku udah sayang sama kamu, dari lama, dari kita sekolah—sebelum presenting, kamu cinta pertamaku … aku selalu berharap suatu saat bisa sama kamu. Dulu ketika SMA aku pernah mengungkapkan perasaanku kepadamu bukan? Mungkin kamu gak ingat, tapi aku ingat—kamu cuma nganggap itu candaan, yang mana aku lega … aku takut kalau aku mengungkapkan semuanya, kita bakalan beda, kita tak akan seperti yang sedia kala, kamu gak akan tertawa lepas seperti itu lagi di depanku. Maka dari itu, aku pendam terus perasaan ini sampai akhirnya kita lulus kuliah, bekerja, dan kamu punya pacar. Aku awalnya senang kamu punya pacar, aku dukung sepenuh hati, aku pun juga telah merelakan perasaanku saat itu, tapi kamu itu naif, semakin banyak hal yang kamu ceritain ke aku tentang pacar kamu, semakin tau pula lah aku bahwa pacarmu bukan orang baik. Di saat itu pula lah aku menentang semuanya, rasanya aku tak mau kamu jatuh ke tangan yang salah, aku mau ngelindungin kamu.” Johnny menghela nafasnya. “Dan di sini lah aku, ngelindungin kamu karena selama ini aku sayang sama kamu. Maaf, tapi aku rasa ini semua bukan cinta monyet, ini semua perasaan sayang—aku sayang kamu, Jaehyun,”

Jaehyun tertegun, tiap kata Johnny tadi seperti menembus raganya. Air matanya yang tadi sempat terhenti kini jatuh kembali.

Pandangannya buyar, tanpa Jaehyun sadari air matanya mengucur banyak sampai ia terisak-isak kencang.

Jaehyun tak percaya … ia tak percaya bahwa selama ini Johnny begitu mencintainya. Ia tak pernah tau … kalau saja Johnny bilang kepada Jaehyun, mungkin Jaehyun tak akan berkencan dengan lelaki sembarangan di bar hanya karena ia kesepian, mungkin saja jalan ceritanya tak akan jadi begini, mungkin saja anak ini nantinya akan jadi milik Johnny, jadi anak mereka.

“Mari besarkan anak kita bersama-sama,” bak membaca isi pikiran Jaehyun, Johnny maju memeluk Jaehyun, membisikkan kata yang membuat seluruh badan Jaehyun bergetar itu di depan bibirnya, lalu dalam sayupnya malam, bibir Johnny pun maju menyapa bibir Jaehyun penuh kasih sayang.

Dengan begitulah mereka berdua memulai hidup mereka yang baru.

⭒☆━━━━━━━━━━━━━━━☆⭒

Sudah 3 bulan semenjak kehamilan Jaehyun, perutnya mulai tampak membulat, tapi belum sebulat itu. Hari ini hari Minggu, hari dimana Jaehyun biasanya akan memasak seharian di dapur demi memberi makan Johnny yang selalu menjadi fans masakannya.

Hari ini ia hanya memasak sup ayam sederhana, sup ayam yang sama persis seperti punya ibunya ….

Melihat sup ayam ini, Jaehyun jadi rindu ibunya … sudah hampir 3 bulan mereka tak bertemu dan Jaehyun tiap malam menangis merindukan orangtuanya, berharap suatu hari orangtuanya bisa menerimanya, memperbolehkannya pulang barang sekali saja.

Tapi ini resiko yang telah dia ambil. Demi anaknya ini, ia harus berpisah dengan orangtuanya.

“Jaehyun ada tamu!” begitu seru Johnny dari ruang depan sana saat Jaehyun sedang termenung menatap supnya yang perlahan-lahan mulai mendidih.

“Iya sebentar,” Jaehyun pun buru-buru mengecilkan api kompornya, ia berbalik badan dan sangat terkejut saat mendapati kedua orangtuanya tengah berdiri di ambang pintu dapurnya.

“Orangtuamu,” begitu senyum Johnny canggung.

Jaehyun tak mengerti … ia baru saja berandai-andai tentang orangtuanya, kini keduanya sedang berdiri penuh senyum, penuh aura kasih sayang di depannya sambil basa-basi, “masak apa?”

Apa ini nyata?

Bahkan kini ibu Jaehyun berdiri di samping Jaehyun, mengintip supnya yang belum matang lalu memegang pundak Jaehyun penuh kasih sayang. “Kamu selalu suka sup,” begitu senyum ibunya.

Jaehyun masih berdiri mematung tak tau hendak bereaksi apa. Ia masih tak percaya … apa ini nyata?!

“I-ibu ….” air mata Jaehyun rasanya hendak jatuh sata itu juga. Setelah sekian lama tak pernah memanggil ibunya, merasakan kehadiran ibunya—kini ibunya ada di depannya, merengkuh dirinya kemudian menenangkan tangisnya. Ya, akhirnya Jaehyun menangis juga.

“Kami di sini diundang Johnny,” bisik ibunya di sela-sela pelukan penuh rindu mereka. “Membahas pernikahan,”

Jaehyun yang tadinya sudah terkejut kini semakin terkejut lagi. Ia melirik ke arah Johnny dan mendapati alpha-nya itu sedang tertawa penuh canda dengan ayahnya di meja makan sana. Lalu pandang mereka bertemu, Johnny mengedipkan matanya nakal, dengan mulutnya, ia berkata “aku cinta kamu” kepada Jaehyun yang sudah kepalang memerah oleh tangis bahagia.

“Aku cinta kamu juga,” balas Jaehyun dengan perasaan membuncah.