rumah
baelinsh; commissioned by haechanie_sun
Ada seorang lelaki muda, hidupnya mewah bergelimang harta, pujian-pujian selalu tertuju kepadanya. Rasanya semua hal bagus yang ada di bumi bisa ia miliki. Ia begitu hebat, a fully capable julukannya, Mark Lee namanya.
Namun selayaknya kehidupan manusia, yang terlihat selama ini belum tentu sejalan dengan apa yang terjadi di belakangnya, lelaki muda itu dalam faktanya justru tidak bahagia. Ia tidak suka dengan kehidupannya. Ia ingin pergi saja, menghilang bak tak bisa ditemukan lagi.
Ia bisa saja diagungkan, dianggap memiliki semua dari segalanya, namun hidupnya hancur. Sudah sejak lama hancur, bak tak bisa disatukan kembali, bak tak bisa disembuhkan kembali.
Namun itu hanya segelintir kisahnya sebelum bertemu dengan cinta dalam hidupnya, obat dari segala sakitnya, perekat dalam hidupnya yang hancur.
Semuanya bermula dari hal klise. Mark itu selalu berpikir realistis, bahkan semua sikap teman-temannya selalu ia anggap tidak tulus. Jadi ketika Jeno—teman Mark—bilang bahwa ia ingin memperkenalkan seorang lelaki manis untuk Mark kencani di hari 'makan siang keluarga besar'-nya Mark, lelaki alis camar itu hanya mengangguk-angguk saja, berpikir bahwa itu semua hanya lelucon karena mungkin saja Jeno bohong.
Namun mungkin sekali dalam hidup, Mark harus mempercayai sebuah ketulusan manusia.
Jeno benar-benar memperkenalkannya kepada seorang lelaki manis.
Awalnya Mark terus mendesah jengah. Lelaki dengan kemeja kotak-kotak juga celana jins ketat itu tampak seperti main-main—Mark tau bahwa pertemuan ini tidak begitu serius, tapi manusia mana yang datang ke restoran mewah hotel dengan pakaian sesantai itu?!—Mark hampir saja permisi ke kamar mandi sangking malunya ia ketika lelaki itu makan cake cokelat dengan mulut yang belepotan.
Namun suasana tenang, suara musik blues yang mengalun merdu di udara, dentingan peralatan makan, juga suara bisik-bisik percakapan memenuhi seluruh restoran ini seakan langsung teredam saat lelaki dengan mata kelam itu menatap Mark, membuka mulutnya, lalu bertanya,
“Apakah harimu menyebalkan, Tuan?”
Pada saat itulah Mark tau, lelaki dengan suara bak madu ini, berbeda.
Lelaki itu bernama Haechan.
Tak ada yang pernah menanyakan bagaimana perasaan Mark, apa hari-harinya baik-baik saja, apa yang telah ia lalui hari ini. Semuanya menganggap dirinya baik-baik saja, menganggap ia fully capable.
Maka satu pertanyaan dari lelaki itu begitu mengubah hidupnya.
Mark, seperti biasa, merasa tidak begitu senang dengan hidupnya. Sedangkan Haechan, ia berkata bahwa seminggu yang lalu ia telah dicampakkan pacarnya, dunianya bagaikan hancur katanya. Mereka sama-sama sedang terbelenggu 'hari yang menyebalkan' lalu dengan begitulah mereka seakan saling tersambung, beralih duduk di kursi taman untuk saling meredam rasa.
Walaupun waktu itu wajah Mark tampak datar—duduk sambil mengesap rokoknya pelan seakan tak peduli dengan ocehan Haechan—namun sebenarnya Mark mendengar, mendengarkan dengan seksama cerita sedih percintaan lelaki itu. Mark meneguk ludahnya kasar saat Haechan mulai terisak, menangisi cintanya yang telah kandas.
“Tak apa,” kata Mark. “Menangis lah sepuasmu, berteriak lah sepuasmu, mengumpat lah sebisamu, karena aku ada di sini, merasakan sakit dan jengah yang sama.”
Lalu malam pertemuan pertama mereka ditutup dengan Haechan yang menangis hingga mengantuk di kursi taman, merengek meminta Mark untuk mengantarnya pulang, tak tau saja jika kelak Haechan lah menjadi tempatnya untuk pulang.
Mark sudah membaca sejuta lebih buku, menyerap seribu satu kata-kata mutiara, mengenyam ilmu hingga ke negeri seberang, namun masih saja lelaki seperempat abad ini tak mengerti apa itu cinta.
Setelah hari itu—hari dimana mereka pertama kali bertemu, hari dimana keluarga Mark pertama kali bertemu sapa dengan lisan manis dan sikap sopan Haechan—Mark tanpa sadar tersenyum, menangkup tangan hangatnya pada tangan dingin nan rapuh milik Haechan. Hari itu hari dimana Mark mulai mencari-cari apa arti cinta. Dan entah kenapa, saat kata 'cinta' disebutkan, yang ia lihat hanya Haechan, hanyalah Haechan, hanya ada Haechan.
“Jangan takut. Lupakan masa lalu, berjalanlah denganku sekarang. Aku akan bersamamu, selamanya,”
Sampai akhirnya kalimat tersebut terucap. Mark, telah jatuh, jatuh begitu dalam, menyerahkan segalanya, hatinya, perasaannya, raganya kepada lelaki itu, lelaki bernama Haechan itu.
Semuanya menggelengkan kepala saat melihat senyum itu terus terpatri di wajah tampan nan tegas bos mereka, Mark. Bak hari sudah mau kiamat, semuanya mengerutkan dahi, bertanya-tanya apa gerangan.
Xiaojun, sekretaris Mark, hanya mendesah lalu berkata kepada rekan sejawatnya, “orang yang sedang jatuh cinta memang gila,”
Mungkin senyuman tersebut lebih wajar daripada jawaban Xiaojun. Semuanya melotot, tak percaya. Seakan lupa bahwa Mark juga lah manusia.
Ya, Mark juga manusia. Rasanya ia tak pernah merasa menjadi lebih manusia daripada saat ini; saat ia bersama Haechan, bersenda gurau, mengecup malu-malu pipi merah lelaki itu; menelpon sepanjang malam bak tak ingat bahwa esok ia ada rapat; menjemput Haechan dari kelasnya, bahkan jika itu artinya ia harus terburu-buru mengerjakan kerjaan kantornya; berjalan-jalan sore dengan Haechan, berbagi cerita hingga berakhir melakukan seks pertama mereka di kursi belakang mobil mewah Mark—Mark, tak pernah merasa sebahagia ini dalam hidupnya.
Haechan begitu hangat. Haechan adalah rumah. Tempat Mark pulang, tempat Mark mengadu. Hingga tak terasa sudah hampir 9 bulan lebih Mark merasakan dunianya. Mereka merayakan hari jadi berdua, di bawah kelap-kelip bintang, Mark memeluk Haechan, berucap berbisik mengatakan seribu kata sayang.
Namun sakralnya malam itu tiba-tiba saja terganggu suara bising ponsel Haechan. Benda itu terus berbunyi, memanggil Haechan yang baru saja fokus pada dunianya kini.
“Cek pesanmu, entah mungkin penting,” ujar Mark merelakan Haechan pergi dari dekapannya.
Haechan berjalan pergi, berlalu menuju ponselnya. Terpaku saat sadar, dunia lamanya telah datang kembali.
“Maaf, aku sibuk,”
Mark terlalu lelah mendengar kalimat itu terucap dari bibir kekasihnya akhir-akhir ini. Makan malam, jalan-jalan sore, menginap di rumah Mark, berlibur berdua—semuanya dijawab dengan satu kalimat tersebut.
Haechan mendingin.
Mark sadar bahwa Haechan ialah mahasiswa tingkat akhir, yang mana sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan diri untuk kelulusan namun, apakah benar tak ada lagi waktu untuk Mark?
Maka hari itu, saat Mark benar-benar begitu rindu Haechan, benar-benar membutuhkan Haechan, benar-benar muak dengan kalimat sibuk Haechan—lelaki itu datang ke kampus Haechan, mencari keberadaan lelaki itu di perpustakaan kampus sebab pacarnya itu bilang bahwa ia seharian akan berada di perpustakaan.
Tapi derap kaki Mark terus melaju, melangkah tak henti saat Haechan tak dapat dicari. Haechan tak ada. Mark tak dapat menemukan Haechan.
'kau dimana?'
Adalah pesan terakhir Mark sebelum netra hitamnya menangkap keberadaan Dunianya, berangkulan dengan yang Mark ketahui sebagai patah hati dari Setengah Jiwanya.
Haechan, membuka lembaran baru dalam hidup Mark.
“Ku kira kau tidak bertemu dengannya lagi?” Kalimat itu terdengar tajam juga tersirat kekecewaan.
“Kami hanya teman,” suara itu terdengar dangkal, pelan juga penuh penekanan.
“Kenapa berangkulan?”
“Mark jangan mulai!” Lelaki lebih muda melotot. Ia menggenggam tangan Mark yang ada di sampingnya. “Kami hanya memutuskan untuk berteman kembali. Diantara lelaki, saling berangkulan itu wajar kan?”
Amarah juga siratan rasa cemburu langsung pudar saat bibir hati itu melengkung, memberikan senyuman semanis madu kepada Mark. Hati lelaki itu menghangat, memeluk pria-nya pun mengucapkan kata rindu.
Mark kira kata rindunya turut berbalas, Mark kira senyum indah itu masih menyambutnya, namun sayang di hari-hari selanjutnya, tak ada bekas kasih di sisi Mark, cinta untuknya tampaknya telah pun memudar.
“Haechan, aku ingin bicara,” Mark yang baru saja pulang kantor terduduk rapi di sofa ruang keluarganya. Kemejanya acak-acakan, begitu juga rambutnya; begitu juga hatinya.
Haechan mengangguk. Ia dudukkan dirinya di depan Mark, menanti setiap kata yang akan dilontarkan kekasihnya.
“Apa ... apa kau masih menyimpan kontakku?”
Haechan mengerutkan dahinya. Ia menatap bingung Mark yang kini bertumpu pada lututnya, menunduk ke bawah bak putus asa.
Haechan menggigit bibirnya, ia ambil ponselnya ke hadapannya lalu menaikkan alis saat melihat beberapa pesan tak terbaca dari Mark.
'selamat hari jadi ke 2 tahun' Katanya.
Diikuti dengan beberapa pesan dan stiker manis yang kontak dengan display name 'Mark Lee' itu kirim, bertanya apakah ia mau berjalan-jalan ke Jeju lusa nanti.
Tertanda pesan masuk Senin minggu lalu.
“Apakah ... apakah kau bahkan peduli dengan kita?”
Haechan mematikan ponselnya, ia menggigit bibirnya menatap mata bergetar lelaki yang lebih tua itu, lelaki yang katanya stabil di segala bidang itu, lelaki yang menjadi pelariannya.
“Kita ini apa, Haechan?”
Haechan telah lama membisu, membiarkan hubungannya mendingin, terdiam tak berbisik. Ia suka Mark Lee, sangat. Namun rasa sukanya bukan berbentuk cinta, bukan, Mark Lee bukan cinta. Mark itu hangat tapi ia bukan rumah. Mark itu selalu ada tapi ia bukan tempat untuk pulang. Mark itu, hanya pelampiasan dari kisah utamanya. Haechan tak bisa menemukan sesuatu di diri Mark yang bisa membuatnya bertahan. Haechan sudah tak bisa menjalankan hal konyol ini lagi. Ia membodohi segalanya; menyakiti segalanya. Tak ada yang bahagia di hubungan ini.
“Entahlah,”
Lalu jawaban itu pun terlontar, kata pertama yang Haechan keluarkan setelah sekian lama memendam rasa sakit di hati pasangannya.
“Aku pun tak tau, Mark,”
“Kenapa?”
Isakan kecil Mark membuat Haechan menggigit bibirnya semakin kuat. Ia telah membuat seseorang menaruh harapan besar padanya, menyayanginya, hingga ia patahkan hatinya. “Mark, maafkan aku,” dan tak ada kata lain selain maaf. Haechan sadar betapa buruknya dia sekarang. “Tapi, aku pikir aku tidak bisa melanjutkan—”
“Apa gara-gara lelaki itu? Yang kau umpat, kau cerca di hari kita bertemu? Apa dia?”
“M-mark!” Haechan berseru panik melihat mata juga muka Mark yang telah memerah oleh tangis. “Dia tidak bersalah,”
“Bahkan di saat begini kau masih bisa membelanya?”
Mata Haechan menyayu sedih mendengar decihan di akhir kalimat itu. Ia telah membuat satu orang yang berharap kepadanya sedih hari ini, ia telah membuat harapan pada dirinya menguap hari ini, ia tak akan biarkan tangis itu terus keluar, ia tak akan biarkan lelaki ini menderita lama. Lalu menggenggam ujung kaosnya, Haechan bersuara, mengeluarkan kalimat pematah terakhirnya.
“Maaf Mark. Kemanapun aku pergi, aku sadar hatiku masih berada di tempatnya. Terima kasih sudah menjadi penawar dalam sakitku yang dulu, tapi Mark, kita tak bisa terus begini, aku tak bisa terus bertahan di sini, kau tak bisa terus tersiksa seperti ini; maka dari itu, sepertinya waktu kita telah habis. Maafkan aku.”
“Apakah, benar-benar sudah tak bisa lagi?” Tanya Mark.
Haechan menggeleng. “Jikalau dilanjutkan, kita akan semakin terluka—
“—Semoga ... kau bertemu orang yang lebih baik,”
Menutup hari itu dengan tangis mantan kekasihnya, juga seribu kata maaf yang terucap darinya, Haechan pun pergi atas permintaan Mark, menyambut awal baru yang Mark beri.
Jadi balik di sini lagi lah Mark, bahkan lebih parah. Mark yang dingin, Mark yang workaholic, Mark yang tak tersentuh—ia kembali menjadi Mark yang selama ini dikenal khalayak ramai.
Hatinya sudah terlalu mati untuk menyerap kalimat terakhir Haechan sebelum lelaki itu pergi; “semoga kau bertemu orang yang lebih baik”, karena sampai saat ini, Mark tak pernah bertemu orang baik itu, atau entah ia pun tak ingin bertemu dengan orang baik itu. Hatinya selayaknya sudah tertutup, tak ada jalan masuk lain selain untuk mataharinya yang dulu.
Lalu ketika matahari itu kembali datang, kembali terbit, penuh air mata mengadu kepadanya, Mark membuka kembali kunci hatinya, menerima dengan suka duka mataharinya itu.
“Aku dicampakkan kembali olehnya,”
Selamat datang kembali
Sambut Mark, tak peduli entah luka apalagi yang akan ia terima.
Fin.