3
Matahari senja, begitulah Papa memanggilnya. Ia terasa hangat, namun juga dingin, namun ia juga terasa menyejukkan.
Dinginnya malam, begitulah Papa mendeskripsikan diri Papa. Walaupun Papa suka tersenyum, bercanda, dan bergurau dengan orang lain, namun Papa punya satu sisi yang selalu menjadikan diri Papa sedingin malam.
Papa tak punya jati diri.
Papa membenci hal ini. Hal yang paling terus Papa hindari untuk Papa bahas bahkan di dalam benak Papa sekalipun.
Siapa aku?
Pertanyaan sederhana namun selalu membuat Papa menjadi gila.
Papa itu berbeda. Papa sudah merasakannya dari lama. Papa berbeda namun Papa tak ingin tampil beda. Dunia ini harus berjalan semestinya, sesuai kodratnya; itulah kata-kata setiap orang. Lalu apa yang bisa Papa lakukan? Ya, hidup dengan berjalan lurus, menjadi normal seperti kodrat yang mereka bilang.
Namun Papa semakin sadar, Papa tidak menyukainya. Papa merasa bahwa Papa bukan Papa. Papa hidup bukan atas kemauan Papa. Papa semacam boneka masyarakat yang mengharuskan semuanya sama, setara dengan jalan pikir mereka.
Namun sekali lagi, apa yang bisa Papa lakukan? Manusia adalah makhluk sosial, Papa tak bisa bertindak seenaknya karena Papa masih punya nama keluarga pada diri Papa. Papa tak ingin keluarga Papa kecewa, Papa tak ingin keluarga Papa dikucilkan. Maka sekali lagi, Papa pun berbohong pada diri Papa.
Namun dinginnya malam ini akhirnya mendapatkan kehangatannya, mendapatkan cahayanya. Sang mentari senja yang selama ini dipuji, diagung-agungkan, diabadikan dalam bentuk puisi—datang menyelamatkan sang dinginnya malam yang tak begitu berguna, yang selalu dilupakan.
Papa awalnya benci mengakuinya tapi, sepertinya lelaki lapangan voli April 1996 itu telah berhasil mencuri kodrat Papa.