Baelinsh

13

Di musim dingin itu, rumah kita berkabung.

Rewelmu mungkin sama banyaknya dengan raungan tangis Papimu. Setelah bertahun-tahun dibuang, menjadi yang terlupakan, mendapatkan kabar bahwa ayah yang ia hormati telah tiada masih tetap membuat Papimu begitu terpukul. Ia sangat mencintai keluarganya.

Teriakan bahagianya karena akhirnya dikontak kembali oleh keluarganya, terlebih lagi adik perempuannya yang sangat ia cintai, berubah menjadi raungan putus asa. Papimu terus menangis. Bahkan dalam tidurnya pun ia kerap kali menangis, mengigau memanggil ibu dan ayahnya.

Papa juga sangat sedih. Namun sayangnya tak ada lagi yang bisa Papa lakukan selain merangkul Papimu pagi ke malam, mengingatkannya untuk makan, tidur, atau setidaknya membawamu untuk tidur dengan kami agar Papimu ada hiburan.

Memang menyedihkan untuk akhirnya tau kabar buruk dari keluargamu tapi kau tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa bertanya, tak bisa menjenguk, tak bisa melihat. Papi sempat berkata bahwa ia ingin pulang sekejap, namun sedetik kemudian langsung menampar mukanya agar dia sadar bahwa dia ini siapa. Papi benar-benar menderita, untuk seseorang yang sangat menyayangi keluarganya, Papi sangat sangat terpukul.

Papi sudah tiap hari meng-spam email bibimu, bertanya apa yang terjadi, memohon agar segera dibalas—namun nihil, Papimu seperti biasa tak diacuhkan.

Papi… he is a family man. Papa bahkan pernah bertanya, “jika kamu sayang banget sama keluarga kamu, lalu kenapa milih aku?”

Lalu ia menjawab. “Karena keluarga aku sepertinya bisa hidup tanpa aku,”

Papa tak bisa untuk tak mengernyitkan dahi Papa. “Lah, memangnya aku ga bisa?

“Memangnya kamu bisa hidup tanpa aku?”

Dan kekehan itu membuat Papa mendengus.

Ah, tau saja Papimu ini!

12

“Adik perempuanku sekarang kuliah di New York!”

Itu adalah teriakan pertama Papimu kepada Papa ketika dengan berlinang air matanya, ia berlari, memeluk Papa kemudian menarik diri Papa untuk membaca surel yang masih terbuka di komputer kamar kami.

Di sana, dikatakan bahwa adik Papi sedang berada di New York, dia belajar seni di salah satu universitas swasta selama kurang lebih 3 tahun di sana.

Papa membaca dengan teliti kalimat-kalimat di surel tersebut. Mengerutkan dahi, berlinang air mata ketika Papa sudah mencapai akhir email.

“Kamu sudah baca sampai akhir surel-nya?” Tanya Papa. Papa bingung, kenapa Papimu menangis bahagia, bukannya menangis sedih dan terpukul seperti Papa.

“Belum. Aku masih terlalu senang. Aku masih belum berani baca sampai bawah,”

Dan hal yang Papa ingat setelah itu ialah Papimu meraung, seakan dunianya hancur ketika Papa berujar,

“Ayahmu meninggal karena serangan jantung. Adikmu ingin mengabarkan itu kepadamu.”

11

Setelah perjuangan selama hampir satu setengah tahun untuk membawa bayi kami pulang—dimana Papa harus mencari kerja yang lebih baik agar lulus kualifikasi adopsi, Papimu juga mencari kerja tambahan; ia menjual kue! (Sebenarnya menjual kue menambah satu beban baru, kami harus mendaftarkan usaha kuliner Papimu ini agar legal dijual, untung saja ada tetangga kami yang bisa membantu kami), hingga mencari apartemen baru karena flat kami ini tidak cocok untuk ditinggali bayi—akhirnya kami merasa bisa bernafas lagi.

Perasaan hilang dan kosong itu seketika menghilang. Papa merasa kembali hidup lagi, merasa ada satu lagi alasan agar Papa terus berjuang. Papimu juga, ia tak pernah sebahagia ini. Ia adalah orang yang penuh kasih sayang, tiap titik kasih sayang ia berikan kepada dirimu.

Hanya ada Papa, Papi, dan Kakak. Putri cantikku benar-benar dikelilingi oleh cinta.

Namun cinta untukmu rupanya bertambah satu. Ketika dirimu beranjak berusia 4 tahun, Papimu memekik menangis ketika menerima sebuah email.

Tertanda dari adik perempuan Papi satu-satunya.

Bibimu.

10

Rumah asuh itu berjarak 3 jam dari Vancouver. Papa sangat berterimakasih kepada Tuan Smith, tetangga samping flat kami, karena sudah mengantar kami berdua dengan mobilnya untuk bisa melihat sepasang mata indah itu, kaki gembilnya yang bergerak lasak kesana kemari, giginya yang baru saja tumbuh 3, juga rambut kelamnya yang mengeriting lucu.

Sang permata hidup kami, kalau kata Papi.

Putri cantikku, kalau kata Papa.

Usiamu masih 9 bulan waktu itu. Masih begitu bayi, masih begitu lucu (anak Papa sekarang juga masih lucu, kok!)

Jadi waktu itu di ruang tengah rumah asuh itu ada banyak sekali anak kecil. Anak usia 4-9 tahun berlari ke sana kemari bermain kejar-kejaran, anak yang lebih tua membantu yang lebih kecil untuk memakai baju (waktu itu sore hari, anak-anak baru saja selesai mandi sore) sedangkan para bayi disatukan di sudut ruangan dimana ada pagar plastik warna-warni yang mencegah mereka untuk tidak lasak keluyuran.

Papa dan Papi kebingungan. Suster rumah asuh itu bilang bahwa kami bisa berinteraksi dengan anak-anak tersebut sesuka hati, namun bagaimana kami bisa berinteraksi ketika ada sekitar 30 orang anak di dalam ruangan tersebut—terlalu banyak!

Jadi kami berdua hanya terdiam mematung tak tau ingin berbuat apa, hingga tiba-tiba, Papi terlonjak kaget—tangannya sampai memeluk lengan Papa! Papa pikir ia kenapa-kenapa, Papa pun akhirnya mengikuti arah pandang Papi kemudian langsung membulatkan mata.

Tampak seorang bayi—dengan baju bayi berwarna putih bermotif bunga lili—merangkak, terkekeh mengetuk-ngetuk sendal bulu Papimu gemas. (Waktu itu sedang zamannya sandal bulu hahahaha) Papi membeku, Papa pun membeku, terus melihat ke bawah, ke arah anak bayi itu yang masih saja bermain dengan sandal Papi.

“Sayang!” Suster yang ada di sebelah Papa akhirnya menyadari keberadaan bayi tersebut. Ia cepat-cepat berjongkok, menggendong bayi itu hendak menaruhnya kembali ke pojok ruangan tempat para bayi bermain.

Namun sebelum suster itu membawa bayi itu kembali, Papi cepat-cepat mencegat suster tersebut, ia tersenyum canggung ketika suster itu membalikkan badan dengan sang bayi yang ada di gendongannya,

“Bolehkah aku lihat bayinya?”

Dan begitulah pertemuan pertama kita terjadi, yang sepertinya memang ditakdirkan Tuhan. Dirimu seakan memilih kami, Putri Cantikku. Bisa-bisanya kamu melompat kabur dari pagar plastik tersebut, bayi nakal. Tapi kalau tidak nakal mungkin Papa dan Papi tidak akan bertemu dengan dirimu. Kata Papi, kamu anak pemberian Tuhan untuk kami. Kata Papi kamu ada untuk kami. Maka dari itu, ketika usiamu menginjak 2 tahun, kami berdua pun membawamu pulang, membesarkanmu dengan penuh cinta.

Sepertinya mimpi konyol Papi 5 tahun yang lalu benar-benar menjadi kenyataan. Papimu benar-benar melihat masa depan.

9

Vancouver adalah kota yang indah. City of Glass, begitulah julukannya. Bias cahaya matahari yang melewati gedung-gedung pencakar tinggi, terkesan hangat juga indah. Sehangat rumah kami di negara ini.

Hidup berdua sendirian di negara yang baru adalah hal yang tak mudah. Kami harus bertahan hidup; tinggal di flat kecil pinggir kota, terkadang kesusahan untuk memenuhi kebutuhan pokok, juga tak bisa dipungkiri perasaan rindu itu kerap muncul, Papimu acap kali menangis tengah malam, rindu adik-adiknya katanya.

Namun hidup harus terus berlanjut, Papa berusaha dengan susah payah mencari pekerjaan. Bermodal ijazah SMA dari sebuah negara berkembang, Papa akhirnya, setelah hampir 4 bulan menganggur, diterima untuk bekerja di sebuah perusahaan dagang sebagai tukang bersih-bersih.

Gajinya memang terkesan besar, setara 500.000 Rupiah pada saat itu, namun dengan jumlah segitu, berusaha bertahan di negara maju ini sangatlah tidak cukup. Papimu juga harus ikut bekerja, menyambil menjadi tukang antar susu di sebuah perumahan mewah di blok samping flat kami.

Ini dia titik balik kehidupan kami, tak seperti di tanah air dulu, ketika kami ngekost berdua, yang walaupun susah namun kami tetap ketawa-ketiwi berdua menikmati hari bersama. Sepertinya tinggal di negara baru, dengan suasana baru, bertemu dengan society baru, membuat kami berdua stres. Memang benar di sini tidak ada satu pun yang menyalahkan orientasi seksual kami, semuanya menerima kami (baru pertama kali Papa mendengar orang berkata “Wah, sudah berapa lama kalian bersama?” ketika Papa menceritakan hubungan Papa dan Papi.) Namun tetap saja, kami entah kenapa merasa jenuh, merasa kosong—apalagi Papimu yang tiap malam selalu menangisi adik-adiknya—serasa ada yang kurang, ada yang hilang. Perkelahian tentu saja tak terelakan di saat-saat begini.

Waktu itu adalah satu setengah tahun pertama kami tinggal di Vancouver. Lalu ketika sudah hampir 2 tahun kami tinggal di negara ini, Papimu, suatu malam berlutut di depan Papa kemudian berucap,

“Ayo kita mengadopsi anak,”

8

Papa punya tabungan yang lumayan banyak hasil dari berjualan kaos oblong ketika awal masuk kuliah dulu. Papimu juga punya, setidaknya 150.000 Rupiah hasil kerja kerasnya mengajar les sana-sini.

Kami awalnya berencana ingin pergi ke Thailand, namun suatu hari Pipimu berteriak di pagi-pagi buta “AKU MIMPI KITA PUNYA ANAK DI KANADA!” bak lupa bahwa kami berdua adalah laki-laki.

Namun mimpi konyol itu dianggap serius oleh Pipimu karena ia berujar bahwa “aku melihat masa depan,” dan rencana perjalanan pun berubah. Dari yang tadinya kami sudah bersiap di bulan depan untuk mengurus kepindahan ke Bangkok, malah terundur untuk waktu yang tidak diketahui agar bisa menabung mencukupi biaya kami pindah dan tinggal di Kanada.

Kami tinggal di sebuah kostan pria. Satu kamar berdua. Tidak ada yang aneh, tidak ada yang curiga. Kami juga selalu ingat untuk menjaga tata krama. Kota baru yang kami tinggali ini ialah kota metropolitan, tak seperti kota asal Papa, kota ini berisikan orang-orang cuek yang lebih memilih duit daripada cerita tetangga.

Lalu sudah 21 bulan kami tinggal di kostan ini. Hidup menjadi lebih indah rasanya, hanya ada kami berdua dengan segala angan dan ambisi yang kami punya. Walaupun kami terkadang harus kesusahan karena masalah finansial, namun bak orang-orang bodoh yang sedang jatuh cinta sejati, asalkan kami punya satu sama lain semuanya terasa ringan, terasa indah. Di bulan ke 23 pula visa tinggal dan segala macam urusan finansial kami terselesaikan, inilah dia saatnya, saat kami menjemput kehidupan baru di negeri yang baru.

7

Ketika Papa bertanya; “kamu selama ini tinggal dengan siapa?” Papimu hanya menggelengkan kepala sambil berkata, “ada teman baik nampung aku, udah jangan dibahas,” padahal Papa tau, ia bekerja keras menjadi guru les dengan gaji tak layak, merendahkan harga diri anak FK yang selama ini ia pegang demi sesuap nasi dan tempat untuk tidur.

Papimu juga kadang bertanya; “kamu memangnya gimana bisa keluar dari rumah? Bapak kamu security nya bukannya ketat banget?” Papa hanya menggeleng, kemudian menjawab, “aku kabur malam-malam,” padahal Papimu tentu saja tau sehancur apa badan Papa ketika keluar dari rumah itu.

Hah, manusia dan ego-nya, tetap harus merasa egois, merasa paling benar, bahkan jika itu harus menyakiti sesama manusia sekalipun. Entah siapa yang mereka tuhankan, entah tuhannya, entah itu egonya.

Ketika hari dimana kami bertemu untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Papa dan Papimu tidak langsung pergi, tidak langsung bersatu. Kami harus menunggu, menunggu saat yang tepat hingga titik semuanya jenuh, semuanya sudah capek, dan tidak mau tau lagi. Lalu setelah benar-benar dibuang masyarakat, disaat benar-benar dianggap sudah tidak ada lagi, akhirnya kami kembali bersatu, bersua, meraih kebahagiaan kami. Bahkan jika itu artinya kami harus pergi dari negeri ini, menghilang dari tempat yang katanya rumah ini, seperti kisah cinta tak sesuai kodrat lainnya.

6

Seharusnya hari itu Papa tak usah memberikannya mawar di depan gedung fakultas. Seharusnya kami tak usah tertawa bersama, seharusnya kami tak usah berangkulan, seharusnya kami tak usah bahagia.

Akhirnya begini, hubungan yang Papa anggap menjadi angin segar bagi diri Papa yang penuh bohong atas diri sendiri, malah menjadi neraka bagi kami berdua.

Entah berapa banyak sakit yang kami terima. Entah berapa banyak luka yang telah Papa toreh pada diri indah Papimu. Entah sebenci apa Papimu pada Papa.

Papa layak mendapatkan benci Papimu. Disiksa oleh ayahnya sebelum ia dikeluarkan dari keluarga, dipermalukan oleh satu universitas, di-drop out, dihilangkan keberadaannya bak lenyap dari bumi. Papimu bak tak ada artinya lagi.

Papa juga mendapatkan luka yang sama. Keluarga Papa begitu malu. Papa berhenti kuliah. Abang dan Kakak Papa tiap hari memukul Papa, merendahkan Papa, hingga mendatangkan ahli agama agar Papa 'sembuh'. Tangisan Ibu Papa tiap hari terdengar, menyalahkan Tuhan karena memberikan Papa 'penyakit' ini.

Namun menurut Papa luka itu belum seberapa dengan siksaan yang Papa terima saat sama sekali tidak bisa bertemu kabar dengan Papimu. Apa yang sedang dia lakukan, apa kabarnya, dia sekarang dimana, apa dia baik-baik saja, apa dia makan dengan baik, apa luka di bibirnya karena ditonjok ayahnya sudah membaik, apakah dia bisa bernafas dengan tenang karena selama ini, Papa sama sekali tak bisa hidup tenang tanpanya.

Papa dipingit, tidak boleh keluar kamar sama sekali. Bahkan waktu Papa ingin melarikan diri, berniat untuk tak kembali lagi, bapak Papa mengikat tangan Papa, membiarkan Papa terkurung sendiri di kamar belakang, hanya diberi minum dan makanan secukupnya oleh Ibu Papa yang entah kenapa malah sering membawakan Papa majalah dewasa agar 'proses penyembuhan' Papa berjalan cepat.

Lalu 5 bulan berlalu. Orangtua Papa tetap memingit Papa, Papa sudah hampir menyerah.

Namun Senin siang itu, di saat Abang dan Kakak semuanya sedang berada di kantor, di saat bapak sedang berkebun di pinggiran kota, di saat ibu sedang menggoreng ayam di dapur; ada sebuah senyum yang mengembang di depan pagar rumah orangtua Papa. Kulitnya masih saja bersinar disentuh mentari, bibir hatinya tampak sedikit bengkak bekas pukulan namun senyumnya masih sama manisnya dengan dirinya di tahun 1996—atau bahkan lebih manis. Dia adalah Papimu. Ia sekali lagi datang, menjemput Papa, menyelamatkan Papa, tak akan pernah pergi dari Papa.

5

Jatuh cinta rasanya seperti dunia milik berdua. Jatuh cinta membuatmu hilang akal—begitulah kami. Hari itu, akal kami berdua sepertinya sudah melayang entah kemana, hanya udara berwarna merah jambu lah yang bisa kami lihat, hanya dunia kami lah yang bisa kami pikirkan. Di sore hari nan cerah, di depan gedung fakultas kedokteran, ada seorang lelaki dengan kemeja rapinya dan jins sobek-sobek kerennya, berjalan mendekati segerombolan anak FK yang baru saja selesai kelas. Dengan berlutut secara tiba-tiba, lelaki itu memberikan sekuntum bunga mawar, tersenyum malu-malu menatap sang kekasih hati yang terkejut dengan pipi merona merah.

Ini adalah hal yang romantis, sangat sangat romantis jika sang penerima mawar ialah seorang mahasiswi cantik nan pintar anak kedokteran, bukannya seorang mahasiswa kedokteran tampan namun pendiam itu.

Bukannya sorai-sorai atau 'ciee' yang keluar sebagai reaksi orang banyak, semuanya tiba-tiba terdiam, terkesiap menatap dua orang tersebut dengan tatapan jijik dan aneh.

Dan cerita selayaknya aib itu cepat tersebar seantero kampus. Membuat kampus bergerak, membuat kedua orangtua dua orang mahasiswa itu dipanggil.

4

Seperti yang kamu ketahui, Papa punya banyak kakak. Total ada 4, semuanya sudah sukses, bahkan ketika Papa masih SMP pun kakak pertama Papa sudah menjadi PNS. Ibu dan bapak Papa bukan main bangganya, masih lekat di ingatan Papa kami sekeluarga pergi ke studio untuk foto keluarga dengan kakak Papa menggunakan PDH-nya gagah.

Jadi Papa sebenarnya tak punya beban seberat itu untuk menaikkan derajat orangtua, terbukti dengan nilai Papa yang sering anjlok namun Bapak Papa tetap anteng membiarkan Papa keluyuran tidak jelas.

Namun berbeda dengan Papimu. Dia anak pertama dari 3 bersaudara. Dia harapan pertama dalam keluarga. Tiap harapan, ekspektasi, masa depan ada di bahunya. Sejalan lurus dengan harapan keluarganya, Papimu juga memberikan yang terbaik untuk keluarganya. Seorang mahasiswa FK dengan IPS paling rendah 3,6—anak ini, anak brilian.

Namun sejalan lurus juga dengan prestasinya, ada keringat dan air mata di setiap langkahnya. Tak jarang Papa menemukan Papimu belajar sampai larut malam hingga hanya tidur 3 jam sehari demi satu UTS. Atau, ketika Papimu menangis saat dosen tidak memperbolehkannya masuk kelas karena ia telat 5 menit sebab bus universitas lama datangnya (waktu itu Papa pikir Papimu menangis karena dimarahi dosen habis-habisan. Papa waktu itu ingin memeluknya, mengatakan, 'Jangan belajar, kamu udah pintar' hahahaha)

Oh ya, Papimu itu cengeng. Bayangkan ia menangis di gedung rektorat ketika menerima telepon dari Ayahnya. Atau, ia menangis kencang ketika tahun 1997, ketika kami menonton Titanic berdua di bioskop dekat kampus. Atau ketika kami berdua iseng ikut demo reformasi demi sebungkus nasi gratis, ia menangis karena takut sama aparat katanya.

Papa suka melihatnya menangis. Terdengar kejam memang, tapi muka merah, bibir lucu, juga rengut-rengutan tidak jelasnya adalah hal favorit Papa. Apalagi tangisannya tersebut bisa menjadi bahan ejekan, Papa hobi sekali!

Namun hari itu, di malam hari ketika tahun baru 1998. Tangisan itu terdengar lagi. Tangisan ini… bukan tangisan favorit Papa. Daripada menjadi favorit, Papa rasanya ingin membunuh diri Papa melihat lelaki dengan wajah setengah bonyok duduk di pinggiran kamar kost Papa, entah mana darah, entah mana air mata.

Malam itu, malam Papimu diusir dari rumah karena keluarganya tau, ia tidak sesuai kodrat.