Baelinsh

Di sudut kafe yang hangat di pinggir kota itu, Jaehyun terduduk bingung menatap Johnny. Sederet hasil jepretan ada di atas meja, berbagai informasi pun tertuang begitu saja untuk Jaehyun cerna.

Pacarnya selingkuh. Calon mate-nya selingkuh. Begitu kata Johnny.

“Dia pergi ke mall dengan omega lain … kalian sudah mating kan …? Kenapa dia … kenapa dia pergi merangkul omega lain ….”

Jaehyun hanya terdiam membisu. Matanya nyalang menatap foto buram yang Johnny cetak. Tangannya terangkat untuk memegang foto itu, menelaah foto itu lagi, meyakinkan dirinya bahwa itu bukan pacarnya.

Mana ada itu pacarnya. Mana mungkin calon mate-nya berkelaku demikian. Mereka sudah hampir setahun bersama, mereka sudah merencakan pernikahan dan masa depan—mana mungkin bisa begini … Johnny bohong.

Jaehyun memang harus mengakui bahwa Johnny terlalu kelewatan sekarang. Walaupun ia teman sedari kecil Jaehyun, walaupun tiap harinya pasti ada Johnny, walaupun Johnny lah yang tau semua isi hati dan cerita hidupnya—tapi Johnny hanyalah Johnny. Dia hanya teman Jaehyun … walaupun Jaehyun tau Johnny tak begitu suka pacarnya, tapi Johnny hanyalah Johnny, dia tak berhak untuk bertindak sampai segininya.

Dengan tatapan dingin, Jaehyun menatap Johnny, menunjukkan amarah dirinya. “Aku tak melihat apapun,” ucapnya. “Ceritamu tak jelas,”

Johnny menghela nafas mendengar jawaban Jaehyun. “Itu benar, pacarmu—”

“Bukan. Kalaupun iya itu pacarku, pasti itu temannya. Apa tak boleh ia main dengan temannya? Dia saja memperbolehkan kita bertemu tiap hari, dan kita hanya teman,”

Johnny menggelengkan kepalanya kepada Jaehyun. “Itu selingkuh—”

“Mana mungkin!” Jaehyun sekarang benar-benar memberang marah. “Dia tak selingkuh!”

Tapi tampaknya Johnny masih saja kekeuh. Matanya masih tampak mantap menatap Jaehyun iba, helaan nafasnya masih lemah terdengar seakan hendak membuat Jaehyun iba dan mendengarkannya sekali saja.

Tapi tidak, Jaehyun tak akan iba. Jaehyun tak akan mendengarkan apapun. Johnny konyol, apa yang dikatakannya konyol. Bagaimana bisa ia sekonyol ini? Mau menghancurkan hubungannya dengan sang pacar dengan cara begini. Mau menyingkirkan sang pacar hanya karena Johnny tak menyukai pacarnya. Padahal mereka sudah lama bersama, seharusnya Johnny senang—harus teramat senang—kepada hubungan barunya, kepada cinta barunya yang ia temui di bar kala itu. Tak mudah untuk mendapatkan belahan jiwamu di tempat umum, seharusnya Johnny senang pada apa yang Jaehyun dapatkan kala itu. Dan sekarang mereka sudah setahun bersama, Johnny sama sekali masih tak senang pada alpha yang ia cintai itu.

Kenapa … kenapa tak ada yang suka pada pacarnya? Kenapa banyak yang tak setuju akan dirinya dan pacarnya? Kenapa tak ada orang terdekatnya yang percaya kepadanya bahwa ia telah memilih pilihan yang benar, bahwa pacarnya adalah cintanya yang benar. Kenapa tak ada yang percaya padanya? Kenapa tak ada yang berpihak padanya? Kenapa … kenapa ….

“Kenapa kamu sebenci itu dengan dia? Kenapa tak ada orang yang setuju jikalau aku menjalin hubungan dengan orang yang memang aku cinta?”

Johnny menghela nafas untuk kesekian kalinya. “Bukan begitu, tapi dia memang seling—”

“Berhenti ngomong begitu!” Jaehyun berseru marah. Mukanya mulai memerah berhias tangis. “Dia tak selingkuh …. Kamu sepengen itu memisahkan kami? Kenapa? Kita memang udah berteman lama, tapi ini tak wajar. Kamu tak mau aku bahagia kan? Kamu mau melihatku hancur, menghancurkan masa depanku ….”

Tangis Jaehyun pun pecah. Johnny panik mendengar tiap kalimat bergetar yang keluar dari mulut Jaehyun. “Bukan, bukan begitu.” katanya berusaha mengelap tiap air mata Jaehyun. Tapi sebelum Johnny bisa menenangkan tangis sedih Jaehyun, omega itu telah lebih dulu bangkit, tak mengucapkan salam sama sekali, Jaehyun pun pergi meninggalkan Johnny.

⭒☆━━━━━━━━━━━━━━━☆⭒

Benar, Johnny memang selama ini tak suka dengan pacarnya Jaehyun itu.

Mereka bertemu di tempat paling absurd di dunia ini—di bar—lalu hanya dalam 2 kali perkenalan, Jaehyun pun berlari berteriak heboh pada Johnny, “aku punya pacar!”

Bagaimana bisa Johnny merestui Jaehyun begitu saja? Bagaimana bisa Johnny merelakan Jaehyun begitu saja? Bagaimana Bisa Johnny melepaskan cintanya pada Jaehyun begitu saja?

Sudah puluhan tahun Johnny berdiri di samping Jaehyun, menjadi teman terbaiknya, menjadi alpha pelindung omega itu, menjadi pendamping hidupnya—tapi sampai situ saja. Bahkan saat Johnny sudah dengan lantang berkata, “aku mungkin suka denganmu,” saat SMA dulu, Jaehyun menganggap ucapannya itu sebatas candaan, sebatas omong kosong belaka.

Johnny memang suka bercanda, dia memang selalu suka melihat lesung pipi itu timbul karena candaannya, tapi Johnny tak bercanda. Ia suka Jaehyun, sangat suka Jaehyun. Hatinya hancur berkeping-keping rasanya saat mendengar kabar bahwa Jaehyun akan segera mating dengn alpha itu.

Johnny tau ada yang salah dengan alpha itu. Perasaannya berkata demikian. Dia tak berniat memata-matai tapi alpha itu lah yang menunjukkan warna belangnya sendiri di hadapan Johnny, berjalan di mall tempat di mana restoran Johnny berada, tak hanya sekali, bahkan berkali-kali. Kata salah satu staff-nya, omega yang alpha itu rangkul adalah karyawan salah satu tenant di sana.

Alpha Jaehyun telah selingkuh. Berkali-kali tanpa malu bermesraan di tempat umum. Tak bisa dibiarkan, Jaehyun harus diselamatkan, maka dengan begitulah foto bukti konkrit itu dicetak.

Tapi malangnya Johnny, Jaehyun masih saja tak memilih dia.

⭒☆━━━━━━━━━━━━━━━☆⭒

Jaehyun sakit. Sudah dua hari dia demam sampai muntah-muntah, sudah berapa kali dia tidur lemas di kasurnya sama sekali tak hendak bergerak.

Jaehyun sakit dan tak ada satu pun orang yang merawatnya!

Ini semua karena dia bertengkar dengan Johnny!

Biasanya Johnny akan bertanya tentang keadaannya tiap hari, dan jika Jaehyun bilang di sakit maka jeng jeng jeng! Johnny pun akan langsung datang di pintu rumahnya sambil membawakan sup dan obat-obatan. Tapi sekarang Johnny tak mengabarinya lagi! Jaehyun pun tak ingin berbicara dengan Johnny sekarang, mereka kan sedang bertengkar! Lagian Johnny menyebalkan, Jaehyun masih belum bisa memaafkannya karena menuduh pacar Jaehyun—

Oh ya, kan Jaehyun punya pacar.

Jaehyun terkekeh sendiri di atas kasurnya saat sadar bahwa ia sudah 2 hari tidak berkontakan dengan pacarnya. Ya karena Jaehyun sakit, dia tak bisa membuka ponselnya maka dari itu mereka tak bisa bertukar pesan. Juga karena pacarnya akhir-akhir ini sibuk jadi dia sama sekali tak tahu menau soal pacarnya. Huft. Setelah sekian usaha dia membela alpha-nya itu dari tuduhan Johnny, yang dia dapatkan selanjutnya hanyalah ini. Hanya cetang satu pada pesan yang sudah terkirim. Jaehyun memajukan bibirnya—dia rindu pacarnya!

“Aku lagi di kantor … kenapa?”

Muka Jaehyun yang sempat cerah sebab akhirnya kembali mendengar suara pacarnya, seketika langsung cemberut seperti semula saat mendengar sekian ribu alasan itu kembali.

“Aku sakit!” Saut Jaehyun meminta perhatian.

“Ya sudah beli obat. Aku sibuk, nanti telepon aku lagi ya,”

Lalu panggilan itu pun terputus.

Jaehyun sempat terdiam sekejap menatap ponselnya, menatap sebal panggilan yang diputus sepihak itu. Namun saat akhirnya ia mulai batuk-batuk lagi, kepalanya mulai seperti seakan berputar kembali, Jaehyun pun turun dari kasur. Tak bisa begini, dia akan mati jikalau begini. Dia harus beli obat.

⭒☆━━━━━━━━━━━━━━━☆⭒

Aneh menurut Johnny jika mereka harus bertemu di sini.

Sekarang sudah hampir 2 hari semenjak ia sama sekali tidak berkomunikasi dengan Jaehyun dan lihat—lihat siapa yang ada di depannya sekarang!

Jaehyun. Jaehyun!

Aneh … kenapa dia bisa sampai di sini …? Ini bukan daerah tempat tinggalnya—rumahnya berjarak 20 menit jalan kaki dari sini—kenapa dia bisa sampai berkeliaran di sini? Lagian—hey, kenapa dia masuk ke toko apotek? Apa dia sakit?

“Obat demam dan obat batuk tolong,” adalah apa yang dapat Johnny dengar saat ia masuk mengekor ke dalam apotek itu.

Johnny awalnya tak berani mendekat tapi saat kemudian Jaehyun batuk-batuk begitu kencang sampai badannya bergetar-getar—Johnny pun mau tak mau mengelus punggung Jaehyun, membuat omega yang membelakanginya itu tersentak terkejut. “Kamu—!” tak butuh waktu lama untuk Jaehyun menoleh ke arahnya lalu melotot kaget.

Seharusnya Johnny tertawa bercanda berucap basa-basi “aku barusan pulang kerja kemudian melihatmu” sebagai pembelaan diri. Tapi bibirnya langsung terkatup khawatir saat melihat perawakan Jaehyun yang ada di depannya sekarang.

“Kamu sakit apa?” tanya Johnny lirih.

Jaehyun tampak memutar matanya malas. “Bukan apa-apa,” ucapnya singkat. Lalu seakan tampak sama sekali tak ingin berbicara dengan Johnny lebih lanjut, Jaehyun bergegas mengambil obat yang sudah ia bayar lalu berlalu melewati Johnny.

“Hey, kalau kamu sakit setidaknya beri tahu—“

“HUEKK!”

Ucapan Johnny itu terpotong sebab bahkan belum ada 5 langkah keluar dari apotek, Jaehyun telah dulu goyah, menunduk ke lantai kemudian mual-mual.

“Kita ke dokter,” begitu ucap Johnny kemudian memapah Jaehyun ke dalam rangkulannya.

⭒☆━━━━━━━━━━━━━━━☆⭒

Itu hanyalah klinik dokter biasa yang tak jauh jaraknya dari apotek tempat Jaehyun pergi tadi. Ia diperiksa seperti biasa, ditanya-tanya soal keadaannya seperti biasa. Tapi setelah semua pertanyaan tentang keadannya ia jawab, sang dokter malah menyuruh Jaehyun untuk berbaring di kasur pasien.

“Mari kita USG,” katanya.

Jaehyun yang kebingungan malah semakin bingung saat sang dokter tiba-tiba berucap, “usia kandungannya sudah sebulan lebih.”

Tak hanya Jaehyun saja yang bingung, tentu saja Johnny yang sedari tadi mengekor dan membawanya ke sini langsung mengerutkan keningnya panik. “K-kandungan …?” tanyanya.

“Iya, omega anda sedang hamil, selamat.”

Satu kata penuh kalimat bahagia itu sudah cukup untuk membuat baik Johnny dan Jaehyun terdiam seribu bahasa. Tak ada yang berbicara setelahnya. Hanya sang dokter lah yang sedari tadi berbicara penuh semangat, penuh suka akan hal yang sedang dialami Jaehyun.

Jaehyun tertunduk, Johnny tampak mengerut linglung terus-terusan mencuri pandangnya kepada Jaehyun.

Keduanya sama sekali tak tau untuk beraksi apa bahkan sampai saat konsultasi itu selesai.

⭒☆━━━━━━━━━━━━━━━☆⭒

Jaehyun hamil.

Ia hamil rupanya.

“Sebulan yang lalu aku sempat tidur ….” akunya. “Aku bagaimana … kapan aku harus bilang ke dia …?” gusarnya.

Tak banyak yang bisa Johnny lakukan selain berpikir. Kepalanya berputar, dunianya bak berhenti. Pandangnya memudar berpikir apa yang sedang terjadi sekarang, berpikir apa yang akan terjadi pada Jaehyun setelah ini.

Dia hamil, hamil anak pacarnya yang telah selingkuh dari dirinya.

Oh kini rasanya Johnny berharap bahwa pacar Jaehyun sebenarnya tak selingkuh, betapa ia berharap bahwa apa yang telah ia lihat dan ketahui tempo hari lalu hanya omong kosong belaka.

Apa yang akan terjadi selanjutnya …? Apa yang akan lelaki itu lakukan …? Apa lelaki yang selingkuh dari Jaehyun itu pantas untuk mendapatkan ini? Apa dia akan menerima semua ini?

Rahang Johnny rasanya mengeras. Tangannya terkepal kencang memikirkan kemungkinan apa saja yang akan Jaehyun hadapi kedepannya.

“Kemana …?” begitu suara lemah Jaehyun terdengar saat Johnny pergi berlalu melawatinya.

Johnny tak menjawab pertanyaan Jaehyun. Bahkan ia sama sekali tak menoleh pada dirinya. Kebingungan Jaehyun semakin bertambah saat Jaehyun melihat Johnny berbelok ke arah lorong yang mengarah entah ke mana lalu,

Brak!

Pintu pun tertutup kencang.

Jaehyun sempat hendak menggedor pintu bertanya kenapa Johnny masuk ke dalam sana, tapi saat ia melihat tanda ‘wc’ di depan pintu itu, ketukannya itu pun ia tahan. Oh, Jaehyun linglung, sangking linglungnya ia bahkan tak sadar plang ‘WC’ yang tergantung besar di langit-langit.

Jaehyun bingung ia harus bagaimana sehabis ini. Bagaimana cara menghubungi pacarnya, bagaimana cara merayakan kehamilannya ini? Apa tinggal telepon saja? Atau Jaehyun perlu chat sekarang—eh ini tidak seru, Jaehyun harus menyiapkan sesuatu yang besar. Ini adalah kabar yang besar, dia harus mengadakan kejutan besar-besaran untuk pacarnya. Apa dia ajak saja pacarnya untuk makan malam berdua kemudian di sana lah dia akan mengejutkan pacarnya. Ya bisa bisa, sebentar lagi akhir pekan, Jaehyun hanya perlu mengontak pacarnya, melakukan reservasi, menunjukkan hasil test pack—astaga! Dia tidak punya test pack. Dia harus beli test pack sehabis ini—lalu kabar gembira itu pun bisa ia berikan kepada pacarnya. Jaehyun rasanya semakin linglung memikirkan makan malam indah itu, memikirkan betapa bahagianya mereka nanti, memikirkan reaksi pacarnya, memikirkan langkah-langkah selanjutnya yang akan mereka ambil nanti, entah itu mating, pertunangan, atau bahkan jika pacarnya mau, mereka bisa menikah bulan ini juga!

Oh betapa linglungnya kepala Jaehyun dipenuhi dengan suka cita dan kesenangan. Dia tak menyangka bahwa akan seperti ini, bahwa hal ini akan terjadi, bahwa dia dan alpha-nya akan bersatu karena bayi mereka, karena bayinya yang sudah bertumbuh di dalam dirinya …. Jaehyun tak bisa untuk tak tersenyum malu-malu mengelus perut ratanya. Ia sama sekali tak sadar bahwa dirinya hamil, ia kira ia hanya sakit biasa. Mereka sama sekali tak merencanakan ini, bahkan Jaehyun tak yakin kapan alpha-nya menghamili dirinya … kau tau, sebulan yang lalu adalah bulan yang cukup panas untuk mereka berdua. Oh, alpha nya itu bahkan tidur seminggu penuh di apartement Jaehyun! Mana mungkin Jaehyun ingat kapan tepatnya alpha-nya menghamili dirinya tapi yang jelas, ini adalah hasil buah cinta mereka sebulan yang lalu.

Prang!

Senyum malu-malu Jaehyun langsung terjatuh saat mendengar suara keras itu dari dalam kamar mandi. Itu suara kaca. Suara kaca pecah. Johnny ada di dalam sana! Apa dia tak apa-apa?! Muka Jaehyun berkerut panik, para perawat dan pasien pun tampak mulai kebingungan mengerubungi area kamar mandi.

“Ada orang di dalam sana?” tanya seorang perawat kepada Jaehyun.

Jaehyun mengangguk. “Temanku,” jawabnya cepat.

Sang perawat mengetuk pintu, dan yang membuat Jaehyun semakin panik adalah tiada satu pun jawaban dari dalam sana. Apa Johnny tak apa-apa? Apa dia pingsan? Apa dia terluka?!

Brak!

Setelah beberapa kali ketukan tanpa balasan, akhirnya pintu kamar mandi itu didobrak.

Dan betapa histerisnya Jaehyun mendapati Johnny berdiri menghadap wastafel dengan darah segar yang mengucur dari tanggannya. Kaca kamar mandi di depannya tampak hancur lebur berlumuran darah.

“JOHNNY!”

Jaehyun berseru ketakutan.

Johnny yang dipanggil hanya membalikkan badannya menatap Jaehyun dengan pandangan tak terbaca, lalu ia berjalan ke arah Jaehyun mengabaikan para perawat dan pasien yang heboh melihat keadaannya.

“Aku … hanya marah, maaf,”

Lirih Johnny sebelum dirinya ditarik oleh para perawat untuk diobati dan dimintai tanggung jawab.

⭒☆━━━━━━━━━━━━━━━☆⭒

Jaehyun bersumpah bahwa dia tak akan bertemu dengan Johnny lagi. Marah akan kehamilan dirinya? Marah akan karunia yang diterima dirinya? Marah karena hasil cintanya? Marah akan bayinya?! Siapa dia … dia kira dia siapa?

Tak ada yang berhak marah akan anaknya, tak ada yang berhak kecewa karena karunia yang ia terima.

Semuanya harus bahagia, ini adalah karunia, sewajarnya semua orang bahagia akan dirinya.

Plak!

Tapi Jaehyun salah. Satu tamparan ia terima di pipinya.

“Kau berusaha menjebakku?!” begitu seruan keras pacarnya berdengung di kepalanya. Jaehyun tak bisa membalas sepatah katapun karena setelahnya sang pacar malah melemparkan kunci apartemennya, melemparkan kunci yang digunakannya untuk datang ke apartemen Jaehyun memeluk Jaehyun kapanpun dia suka.

“iya, kalau aku pergi dengan yang lain dan ga mau kamu gimana? aku udah ga ada rasa sama kamu.”

Bahkan rasanya Jaehyun tak bisa bernapas dengan benar saat mendengar pengkuan pacarnya itu. Ia tadi hanya kebablasan berucap, “kamu benar-benar selingkuh dari aku?” karena ia marah. Ia tak mengharapkan sebuah balasan … ia tak mengharapkan ini ….

“Kamu bilang kamu hamil? Selamat, tapi itu bukan anakku. Manatau itu anak Johnny sang alpha sejatimu itu, lebih baik kamu temui dia,”

Maka dengan begitu lah, pacar Jaehyun pun pergi dari hadapan Jaehyun.

Jaehyun sendiri. Ia ditinggal sendiri.

Hubungannya dan Johnny pun sudah cukup buruk sampai sini. Ia benar-benar sendiri.

Semuanya marah pada dirinya, semuanya benci pada dirinya, semunya berbalik muka pada keadannya.

Tak ada yang boleh marah pada keadannya, walaupun ia sekarang tampak menyedihkan, tapi tetap, tak ada satupun yang bisa marah pada keadannya.

Kecuali dirinya. Hanya dirinya sendiri lah yang berhak untuk marah.

Kini Jaehyun tengah menunduk di pintu depan apartemennya. Air mata mengering, pandangnya kosong menatap dinding. Test pack warna pink yang ia harap bisa menjadi kabar penting kini menggantung tak ada arti di tangannya.

Jaehyun marah … ia marah pada semua yang ada di dirinya sekarang.

Tak terasa air mata yang tadi mengering kini pecah kembali, jatuh deras membahasi pipinya yang memerah bekas tangan pacarnya. Di lorong depan pintu apartemennya itu Jaehyun mengerang sedih, memukul-mukul perutnya marah—marah akan dirinya, marah akan keadannya, marah akan hasil cintanya.

⭒☆━━━━━━━━━━━━━━━☆⭒

Jaehyun tak tau masa depan apa yang ada untuknya.

Dia telah hancur. Ia telah dibuang. Rasanya tak ada lagi masa depan yang ada untuk dirinya.

Apa yang ia harap akan menjadi suatu berkah dan kabar besar kini malah menghancurkan dirinya, menghancurkan semuanya. Apa yang membuatnya kembali bersemangat, membuat ia merasa bahagia, membuat dirinya tak tidur karena kesenangan kini malah membuatnya kecewa, tampak menyedihkan, dibuang lalu dihempas begitu keras.

Bekas tamparan keras yang pacarnya berikan untuknya sehari yang lalu rasanya masih terasa sampai sekarang. Kata-kata pacarnya yang menghantam dirinya pun masih tengiang begitu jelas di telinganya sampai sekarang.

Jaehyun hancur. Hancur berkeping-keping tak ada satu pun orang lagi yang berada di sisinya.

Orang yang paling ia sayang, paling ia percayai, yang ia sangka dapat bekerja sama membangun masa depan dengan dirinya kini telah berpaling dari dirinya. Pacarnya tak menginginkan dirinya … tak menginginkan anaknya. Lantas siapa yang mau menerima dirinya? Jika pacarnya saja menolak dirinya … lantas siapa …?

Jaehyun bingung, kepalanya rasanya mau pecah memikirkan tiap-tiap keadaan yang sedang ia alami sekarang.

Jika saja hal ini tak terjadi, jika saja anak ini tak ada, jika saja mereka tak bercinta malam itu, hal ini tak akan terjadi kan?

Jaehyun … juga tak ingin anak ini.

Ia tak suka dengan dirinya sekarang. Ia tak mau hamil, ia tak mau anak ini, ia tak mau mengandung anak ini. Jikalau saja anak ini hilang, pacarnya akan kembali bukan? Semuanya akan kembali seperti semula bukan?

Jaehyun dengan keras memukul perutnya, berharap dengan penuh amarah agar semua lelucon tiba-tiba ini berhenti, berharap bahwa ia sebenarnya sedang tidak hamil lagi.

“ … Jaehyun …! Jaehyun! Kamu ngapain?!”

Mungkin Jaehyun terlalu mendekam di atas tempat tidurnya sampai tak sadar bahwa ada Johnny yang berlari ke arahnya berteriak panik. Tangannya dicegat Johnny begitu keras, dari kelamnya kamar ini, dari balik matanya yang berair, Jaehyun bisa melihat muka Johnny berkerut ketakutan.

“K-kenapa di sini?!” tanya Jaehyun.

Hubungannya dan Johnny sedang tak baik. Tak ada alasan ia ke sini mencegat Jaehyun begini.

“Kamu udah ga makan berapa lama?” bukannya menajawab, Johnny malah bertanya balik. Pandangannya melembut, tangan Jaehyun yang ia pegang erat pun dengan perlahan ia lepas.

“Aku ga mau kamu di sini, aku marah, kamu tau,” Jaehyun menjawab ketus.

Johnny hanya tersenyum lalu mengusak rambut Jaehyun. Ia berdiri di sisi tempat tidur Jaehyun lalu berucap, “ibumu menitipkan lauk kepadaku, dia bingung kamu kemana tak bisa dihubungi berhari-hari. Makan lauk dari ibumu kemudian sehabis itu mari telepon orangtuamu, oke?”

Mendengar hal itu, badan Jaehyun bergetar seketika, jantungnya berdegup kencang ketakutan. Ia tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya, tapi sekarang ia baru sadar, ia harus berhadapan dengan orangtuanya, cepat atau lambat.

Dengan tangan yang bergetar, Jaehyun meraih tangan Johnny, menggenggam pergelangan tangannya meminta atensi Johnny.

Walaupun tampak seperti hendak mengatakan sesuatu, Jaehyun pada nyatanya malah terdiam bungkam matanya sayu menatap ke bawah. Tangannya masih berpegang erat pada Johnny seakan tak hendak membiarkan Johnny pergi.

Johnny yang tadi sudah hendak berjalan menjauh dari sisi tempat tidur Jaehyun pun kini berbalik kembali menghadap Jaehyun, menunggu Jaehyun, tau bahwa ada sesuatu yang hendak Jaehyun sampaikan tapi ia belum siap.

Dilihat dari betapa hancurnnya rumah ini, betapa hancurnya Jaehyun kini, Johnny tau bahwa Jaehyun tak bisa menanggung semuanya sendiri.

“Pacarku menampar ku tadi … dia tak ingin anak ini—katanya ini bukan anaknya, katanya dia tak sayang padaku tak suka padaku, katanya dia sudah bertemu dengan orang lain—”

“Hei Jaehyun, bernafas, pelan-pelan, aku mendengarkan,” Johnny berjongkok menatap Jaehyun. Lantas Jaehyun yang sedari tadi menatap ke lantai pun kini bersejajar pandang dengan Johnny. Dari mata itu, Johnny bisa melihat kesedihan dan ketakutan. Melalui mata itu pula lah Johnny meyakinkan Jaehyun untuk bercerita, membagi sakit yang tengah ia rasa.

“Dia tak ingin anak ini—benar katamu, dia … sudah dengan yang lain,” dengan begitulah Jaehyun melanjutkan ceritanya lagi, kali ini lebih tenang, lebih pelan, lebih teratur sebab Johnny sedari tadi mengusap punggungnya, mendampingi dirinya dalam bercerita.

“B-bagaimana, bagaimana bisa aku hidup kalau begini …? Jikalau dia tak mau lalu siapa …? Tak ada … tak akan ada yang menerima ini, orangtua ku sekalipun pasti tak mau semua ini. Jikalau dia saja benci, maka semua orang pasti akan membenci, termasuk orang tuaku pun sekalipun!” Tangis Jaehyun pecah, saat itu pula Jaehyun dapat merasakan dekapan hangat Johnny membalut tubuhnya, tangan hangatnya mengusap kepala Jaehyun, membuat Jaehyun yang tersengal penuh amarah perlahan terdiam redam.

“Siapa bilang tak ada yang menerimamu?” Begitu bisik Johnny dalam pelukan mereka. “Aku, aku ada di sini, kok,”

Jaehyun sontak menarik dirinya dari dekapan Johnny. “Bohong. Kamu marah kemarin,” hardiknya.

Jaehyun hanya bisa melihat Johnny tersenyum, lelaki itu pun hanya menjawab, “aku marah karena sadar apa yang bakalan kamu terima kedepannya dengan kehamilan ini … maksudku … pacarmu bukan orang yang baik,”

Mata Jaehyun yang tadinya menatap Johnny nyalang kini kembali menunduk sedih, “ya, tak akan ada yang menerimaku … bagaimana aku menjelaskan kepada orangtuaku? Apa anak ini … anak ini tak ada saja—“

“Jangan berbicara yang aneh, tak ada yang akan mati di sini.” Johnny memotong Jaehyun. “Orangtuamu pasti akan menerimamu. Semua orang pasti akan menerima bayimu. Tenang saja, serahkan semua kepadaku, aku yang akan maju bertemu orangtuamu,” senyum Johnny kepada Jaehyun.

⭒☆━━━━━━━━━━━━━━━☆⭒

Katakan Johnny bodoh. Datang ke rumah orangtua Jaehyun, berlutut, lalu dengan tegas berucap “Jaehyun hamil … anakku,”

Bahkan Jaehyun yang berdiri bergetar di belakang Johnny terkejut bukan main mendengar penuturan Johnny. Ini bukan sesuatu yang ia harapkan. Ia pikir Johnny hanya akan menemaninya pulang ke rumah, menjelaskan semuanya kepada orangtuanya, dan hanya itu. Ia tak mengharapkan ini.

Satu seruan amarah ayah Jaehyun terdengar kencang menggelegar. “Kau apakan anakku?!” begitu katanya.

Johnny mengangkat kepalanya, menatap ayah Jaehyun lalu berucap lagi dengan lugas, “Jaehyun mengandung anakku,”

Tampak tangan ayah Jaehyun mengepal. Sebelum Jaehyun bisa mencegah apapun untuk terjadi, Johnny telah lebih dulu ditarik ayah Jaehyun, dipukul di pipinya dengan keras sampai Jaehyun berteriak panik.

“Kau adalah teman anakku, bukan ini yang kuharapkan darimu, Johnny,” geram ayah Jaehyun terdengar.

Jaehyun dengan cepat berlari maju mencoba menjauhkan ayahnya itu dari Johnny. Tapi terlambat,

Bugh!

Johnny dipukul lagi dan lagi.

Jaehyun melihat itu hanya bisa menangis. Ayahnya begitu marah. Begitu tak bisa dihentikan. Bodohnya Johnny, dia hanya diam saja di sana tak ada perlawanan, mukanya terus dipukul berapa kali tak ada henti, seakan tak ada arti.

Jaehyun tau bahwa Johnny jauh lebih kuat dari ayahnya. Johnny adalah alpa dominan, dia selalu menjadi yang paling besar, paling kuat, paling segala-galanya di antara semuanya. Tapi kali ini dia tampil lemah, dia tampil tak berdaya dihabisi alpha tua yang tak ada apa-apanya dibanding dia.

Semua ini karena Jaehyun. Hanya untuk Jaehyun. Karena rasa sayangnya pada Jaehyun.

“Aku akan bertanggung jawab untuk Jaehyun,” begitu lirih Johnny saat akhirnya ayah Jaehyun itu kelelahan mengeluarkan amarahnya.

Lalu dengan satu kalimat itu, Johnny dan Jaehyun pun didepak dari rumah orangtua Jaehyun tanpa dibalas satu katapun.

⭒☆━━━━━━━━━━━━━━━☆⭒

Jaehyun sedang mengompres luka lebam Johnny saat alpha itu meliriknya sambil berkata, “pindah ke rumahku,”

Jaehyun yang sama sekali tak fokus pada apapun yang terjadi sekitarnya hanya mengangguk mengiya-iyakan saja. Fokusnya sekarang hanya ada pada Johnny dan luka-lukanya akibat dipukul tadi. Hati Jaehyun begitu perih melihat luka-luka itu, kepalanya sakit melihat berapa banyak luka yang Johnny terima karena perbuatannya.

“Baiklah! Ayo kemas barangmu!”

Tapi kepala Jaehyun lebih sakit lagi saat Johnny tiba-tiba berdiri tegak, menarik tangannya, lalu tertawa seakan ia tak apa-apa! Pipinya bengkak tau! Dia tak boleh tersenyum selebar itu! Lagian … apa?! Pindah ke rumah Johnny?

“Untuk apa?” Jaehyun berkerut penuh tanya. Ia dengan cepat menarik tangannya dari Johnny, mencoba mendorong Johnny balik ke sofa,

“Pindah ke rumahku,” perjelas Johnny lagi. Baru kali ini lah Jaehyun akhirnya mengerti apa arti ucapan Johnny. Ia hanya terdiam, mencerna apa sebenarnya maksud dari kata Johnny itu.

“Untuk apa?” dan pertanyaan itu terulang lagi kedua kalinya.

“Tinggal bersamaku, aku akan tanggung jawab untuk semuanya,”

Perasaan Johnny, dia hanya berucap dengan kata-kata biasa, dengan nada biasa, tak ada kesan sedih, tak ada kesan kecewa, tak ada kesan negatif dari kata-katanya. Tapi entah kenapa ekspresi Jaehyun tiba-tiba meredup. Ia menatap ke bawah dengan wajah sendu tampak sedih.

Johnny yang tadinya sudah bersemangat bangkit dari sofa, kini duduk kembali ke sofa itu, mengangkat muka Jaehyun lalu mendapati bahwa Jaehyun menangis. “Kenapa?” tanya Johnny menghapus air mata itu.

“Kamu luka karenaku … luka di tanganmu saja belum sembuh, kemudian sekarang di mukamu … kamu harus sembuh, jangan bergerak terlalu banyak dahulu,” Jawab Jaehyun, yang mana membuat Johnny tak puas. Tak mungkin Jaehyun menangis karena ini.

“Kamu gak mungkin nangis karena aku luka, jadi kenapa?”

Jaehyun memandang Johnny tak percaya. Setelah apa yang terjadi selama ini, Johnny masih bertanya kenapa … setelah dia terluka begini, Johnny masih bertanya kenapa Jaehyun sedih?

Johnny terluka karena Jaehyun, ia dipukuli seakan tak ada harga diri begini karena Jaehyun. Dari awal pula Johnny telah disakiti oleh Jaehyun. Bagaimana dulu Jaehyun dengan keras hati menolak fakta tentang pacarnya yang telah Johnny beri, lalu ketika Jaehyun sudah sampai hancur begini, Johnny masih ada di sini, menemaninya, bahkan akan bertanggung jawab.

Kenapa … kenapa Johnny begitu baik kepadanya?

“Kenapa kamu baik denganku? Ini semua bukan salahmu, kamu bisa lari, bisa biarin aku sendiri. Aku ga pantas dapat semua ini, aku jahat—”

“Karena aku sayang sama kamu,” satu jawaban Johnny itu membungkam Jaehyun. Ia memandang Johnny tak percaya, matanya mengerjap bingung penuh pertanyaan.

“Selama ini aku udah sayang sama kamu, dari lama, dari kita sekolah—sebelum presenting, kamu cinta pertamaku … aku selalu berharap suatu saat bisa sama kamu. Dulu ketika SMA aku pernah mengungkapkan perasaanku kepadamu bukan? Mungkin kamu gak ingat, tapi aku ingat—kamu cuma nganggap itu candaan, yang mana aku lega … aku takut kalau aku mengungkapkan semuanya, kita bakalan beda, kita tak akan seperti yang sedia kala, kamu gak akan tertawa lepas seperti itu lagi di depanku. Maka dari itu, aku pendam terus perasaan ini sampai akhirnya kita lulus kuliah, bekerja, dan kamu punya pacar. Aku awalnya senang kamu punya pacar, aku dukung sepenuh hati, aku pun juga telah merelakan perasaanku saat itu, tapi kamu itu naif, semakin banyak hal yang kamu ceritain ke aku tentang pacar kamu, semakin tau pula lah aku bahwa pacarmu bukan orang baik. Di saat itu pula lah aku menentang semuanya, rasanya aku tak mau kamu jatuh ke tangan yang salah, aku mau ngelindungin kamu.” Johnny menghela nafasnya. “Dan di sini lah aku, ngelindungin kamu karena selama ini aku sayang sama kamu. Maaf, tapi aku rasa ini semua bukan cinta monyet, ini semua perasaan sayang—aku sayang kamu, Jaehyun,”

Jaehyun tertegun, tiap kata Johnny tadi seperti menembus raganya. Air matanya yang tadi sempat terhenti kini jatuh kembali.

Pandangannya buyar, tanpa Jaehyun sadari air matanya mengucur banyak sampai ia terisak-isak kencang.

Jaehyun tak percaya … ia tak percaya bahwa selama ini Johnny begitu mencintainya. Ia tak pernah tau … kalau saja Johnny bilang kepada Jaehyun, mungkin Jaehyun tak akan berkencan dengan lelaki sembarangan di bar hanya karena ia kesepian, mungkin saja jalan ceritanya tak akan jadi begini, mungkin saja anak ini nantinya akan jadi milik Johnny, jadi anak mereka.

“Mari besarkan anak kita bersama-sama,” bak membaca isi pikiran Jaehyun, Johnny maju memeluk Jaehyun, membisikkan kata yang membuat seluruh badan Jaehyun bergetar itu di depan bibirnya, lalu dalam sayupnya malam, bibir Johnny pun maju menyapa bibir Jaehyun penuh kasih sayang.

Dengan begitulah mereka berdua memulai hidup mereka yang baru.

⭒☆━━━━━━━━━━━━━━━☆⭒

Sudah 3 bulan semenjak kehamilan Jaehyun, perutnya mulai tampak membulat, tapi belum sebulat itu. Hari ini hari Minggu, hari dimana Jaehyun biasanya akan memasak seharian di dapur demi memberi makan Johnny yang selalu menjadi fans masakannya.

Hari ini ia hanya memasak sup ayam sederhana, sup ayam yang sama persis seperti punya ibunya ….

Melihat sup ayam ini, Jaehyun jadi rindu ibunya … sudah hampir 3 bulan mereka tak bertemu dan Jaehyun tiap malam menangis merindukan orangtuanya, berharap suatu hari orangtuanya bisa menerimanya, memperbolehkannya pulang barang sekali saja.

Tapi ini resiko yang telah dia ambil. Demi anaknya ini, ia harus berpisah dengan orangtuanya.

“Jaehyun ada tamu!” begitu seru Johnny dari ruang depan sana saat Jaehyun sedang termenung menatap supnya yang perlahan-lahan mulai mendidih.

“Iya sebentar,” Jaehyun pun buru-buru mengecilkan api kompornya, ia berbalik badan dan sangat terkejut saat mendapati kedua orangtuanya tengah berdiri di ambang pintu dapurnya.

“Orangtuamu,” begitu senyum Johnny canggung.

Jaehyun tak mengerti … ia baru saja berandai-andai tentang orangtuanya, kini keduanya sedang berdiri penuh senyum, penuh aura kasih sayang di depannya sambil basa-basi, “masak apa?”

Apa ini nyata?

Bahkan kini ibu Jaehyun berdiri di samping Jaehyun, mengintip supnya yang belum matang lalu memegang pundak Jaehyun penuh kasih sayang. “Kamu selalu suka sup,” begitu senyum ibunya.

Jaehyun masih berdiri mematung tak tau hendak bereaksi apa. Ia masih tak percaya … apa ini nyata?!

“I-ibu ….” air mata Jaehyun rasanya hendak jatuh sata itu juga. Setelah sekian lama tak pernah memanggil ibunya, merasakan kehadiran ibunya—kini ibunya ada di depannya, merengkuh dirinya kemudian menenangkan tangisnya. Ya, akhirnya Jaehyun menangis juga.

“Kami di sini diundang Johnny,” bisik ibunya di sela-sela pelukan penuh rindu mereka. “Membahas pernikahan,”

Jaehyun yang tadinya sudah terkejut kini semakin terkejut lagi. Ia melirik ke arah Johnny dan mendapati alpha-nya itu sedang tertawa penuh canda dengan ayahnya di meja makan sana. Lalu pandang mereka bertemu, Johnny mengedipkan matanya nakal, dengan mulutnya, ia berkata “aku cinta kamu” kepada Jaehyun yang sudah kepalang memerah oleh tangis bahagia.

“Aku cinta kamu juga,” balas Jaehyun dengan perasaan membuncah.

Jam 10 malam. Jalanan sudah begitu sepi. Angin sepoi-sepoi pun berhembus dingin. Lucas berjalan melewati malam, melewati trotoar berusaha pulang.

Sudah jam 10 malam. Ia seharusnya pulang jam 6. Telat 4 jam. Tapi bagaimana lagi, demi bisa makan, Lucas harus rela lembur sampai malam-malam buta. Ia hanya mahasiswa semester akhir biasa yang sedang berusaha mengumpulkan uang, lembur adalah hal biasa menurutnya.

Rumah di ujung jalan adalah rumah kost-nya. Rumah tersebut cenderung kecil untuk dijadikan kost-kostan memang, bahkan hanya ada 3 kamar di dalam rumah itu—yg lebih parahnya lagi satu kamar digunakan sebagai gudang. Ia tinggal dengan si pemilik kost. Seorang lelaki berusia 35 tahun—10 tahun lebih tua darinya—yang dengan senang hati memberikannya tumpangan untuk tinggal.

“Oh udah pulang,” sebuah suara terdengar dari ruang tamu yang temaram. Lucas merapikan sepatunya, menatap sekeliling mencari keberadaan si punya suara.

Tampak di ruang tengah—yang dari ruang tamu pun bisa kelihatan—ada seorang lelaki yang sedang goleran di depan TV yang mati sambil bermain ponsel. Itu dia si bapak kost, si lelaki yang tengah menunggu ia pulang, si Jungwoo.

Lucas bergegas menuju ke ruang tengah. Tampak Jungwoo yang begitu fokus bermain dengan ponselnya, sama sekali tak peduli pada dirinya yang berdiri menjulang di depan lelaki itu, seakan sapaannya tadi bukan dia lah yang melontarkannya. .

Ketika Lucas terduduk, merunduk untuk semakin dekat dengan Jungwoo, lelaki itu malah cepat mengganti posisinya. Ia memunggungi Lucas. Tangan kiri di ponsel, tangan kanan menopang kepala.

Jadi mau tak mau Lucas ikut berbaring. Ia selipkan badannya di belakang Jungwoo, kepalanya ia taruh di bahu Jungwoo yang tertutup kain satin baju tidurnya. “Lihat apa sih? Kok serius banget?”

Suara di dekat telinganya membuat Jungwoo bergetar geli. Ia bergerak gelisah. “Ga ada. Cuma bosen aja,” katanya sambil lanjut menggulirkan ponsel.

Lucas terkekeh. Ia semakin mengeratkan pelukannya pada pinggang Jungwoo, hidungnya ia bawa untuk mencium rambut Jungwoo. Yang dimanja-manja cuma diam aja, Jungwoo masih sibuk bermain ponselnya.

Duh, bapak kost-nya si tukang ngambek. Lucas memang tak keberatan kalau dia harus lembur, tapi satu orang ini lebih marah-marah penuh keberatan terhadap kerja lemburnya daripada dirinya sendiri.

Jadi dengan inisiatif lain, Lucas bawa naik tangannya kemudian mengelus lengan si bapak kost. “Kamu goleran di sini hanya untuk main hape?” Tanyanya.

“Iya,” Jungwoo menjawab cepat. Sama sekali tampak tak tertarik dengan Lucas.

Lucas terkekeh. Kalau ngambek kenapa malah lucu banget ya si bapak kost ini. “Beneran?” Godanya. Ia bertopang pada tangan kanannya, mengangkat kepalanya agar bisa melihat wajah Jungwoo.

“Beneran!” Dan meledak lah Jungwoo. Ia lepaskan pandangnya dari ponselnya. Kepalanya menengok ke belakang menatap Lucas dengan pandangan tajamnya “Kenapa sih lihat-lihat tanya-tanya. Mending balik kerja aja sana gih,”

“Aku udah selesai kerja lho,” Lucas menggoda, bibirnya pun maju menggoda pipi Jungwoo.

“Ih jangan cium-cium!” Jungwoo berseru. Tangannya mendorong wajah Lucas yang telah menciumnya sekali, kemudian mengerut seakan ia risih.

“Tapi aku pengen cium,” Tapi Lucas tak menyerah, ia masih menggoda Jungwoo.

“Ga mau! Ga mau—”

Cup!

Cup!

Cup!

Tiga buah kecupan bertubi-tubi dilayangkan Lucas papa pipi Jungwoo. Jungwoo masih mengerut, tapi kini bibirnya tertutup sama sekali tak berkutik.

“Maaf ya hari ini aku lembur,” begitu kata Lucas diakhir kecupannya. Matanya bertemu mata Jungwoo.

“Aku ga maafin,” Jungwoo masih tetap bertahan ngambek. Ia memalingkan mukanya dari Lucas.

Memang susah kalau Jungwoo udah ngambek begini. Dia bakalan ngambek berjam-jam. Lucas lagi ga mau lihat Jungwoo ngambek, dia lelah habis pulang kerja, setidaknya dia mau lihat senyumnya Jungwoo malam ini.

“Oh gitu ya,” Lucas bergumam. Nada suaranya terdengar seperti bodo amat, tapi tangannya berkata sebaliknya. Tangan besarnya yang memeluk Jungwoo kini perlahan menyelusup masuk ke celana tidur satin longgar lelaki itu. Tak tanggung-tanggung, Lucas menyelusup semakin dalam, semakin dalam sampai-sampai melewati celana dalam, semakin dalam sampai tangan hangatnya langsung bertemu dengan kontol Jungwoo yang—oh? Sudah mengeras?

“Lucas!” Jungwoo berteriak panik. Kakinya tegang menahan geli, tangannya menegang menggenggam lengan Lucas, mencoba menahan tangan itu agar tak berbuat apa.

Tapi telat, Lucas terkekeh. Ia kecup leher Jungwoo. “Kangen aku banget ya?” Cibirnya sambil mengelus batang keras Jungwoo.

Jungwoo terkesiap pada belaian Lucas. Jari jemari lelaki itu membungkus kontolnya hangat. Ujung jempol Lucas bergeriliya di pangkal kontol Jungwoo, mengganggu lubang kencingnya yang kalau dielus-elus terus seperti ini ia pun tak akan tahan.

“Udah … udah ….” terbukti muka Jungwoo yang belum diapa-apakan juga sudah memerah. Ponselnya entah ia buang ke mana, kini kedua tangannya berpegang erat pada tangan Lucas.

“Aku ga ngapa-ngapain,” elak Lucas. Sebelum pembelaannya dibantah, ia telah lebih dulu mengangkat jempolnya dari lubang senggama Jungwoo. Menyisakan hanya jari jemarinya yang menggenggam longgar kontol Jungwoo.

“Aku mau tidur!” Jungwoo menggerakkan badannya sedikit agar wajahnya bisa menatap wajah Lucas, mukanya mengerut menatap tampang menggoda-bercanda lelaki itu.

“Yaudah sini aku tidurin,” Lucas bisa apa kan selain menuruti perkataan Jungwoo?

Pipi Jungwoo dikecup. Bertubi-tubi seperti tadi hingga naik ke dekat matanya.

“Buka kakinya lebar-lebar, aku boboin ya,” dekat dengan telinga, bisikan Lucas terdengar.

Jungwoo memejamkan matanya saat Lucas–dari dalam celananya–menyentuh pahanya kemudian dengan perlahan menuntun paha tersebut untuk terbuka melebar. “Taruh kaki kamu di aku,” begitu kata Lucas sebelum pegangannya pada paha Jungwoo ia lepas.

Jungwoo menurut. Ia kali ini lebih memilih menurut dan menutup matanya. Ia peluk badan Lucas di belakangnya dengan kakinya. Lalu di dalam sana, tangan Lucas dapat leluasa mengeksplor dirinya. Semakin dalam semakin dalam sampai jari jemari panjang pacarnya itu sampai di depan lubangnya.

“Eh?” Lucas bergumam kaget. Matanya terbuka lebar dan bibirnya tertawa penuh kekeh. “Habis pakai lube ya?” tawa Lucas mempergoki lubang berkedut itu sudah basah sebelum ia santap.

Jungwoo yang tadi sudah menutup mata menikmati tiap eksistensi Lucas pada dirinya kini matanya terbuka lebar lagi. Kepalanya sontak melengok ke belakang sedikit, menatap Lucas dengan mata yang membulat.

“Maaf ya bikin kamu nunggu,” dan begitu respon Lucas dengan senyuman di wajahnya.

Jungwoo memutar bola matanya pada tiap senyuman yang terus dilontarkan Lucas. Oh, dia tersenyum seakan ia tak apa-apa, seakan hanya Jungwoo yang bergairah, hanya Jungwoo yang mendamba. Lucas sama santai dan jahilnya seperti ia yang biasanya.

Tapi tau kah Jungwoo, terasa kah Jungwoo bahwa di belakangnya, Lucas secara pelan tapi pasti menggesekkan selangkangannya pada pantat Jungwoo. Bersamaan dengan gesekan itu, tangan Lucas juga mulai memanjakan lubang Jungwoo. Ia elus mulut lubangnya, merasakan lubang itu yang seakan sudah tak sabar menunggunya datang, begitu berkedut seakan hendak menelan jari telunjuknya masuk.

Apapun yang Jungwoo mau, itu yang Jungwoo dapat. Jadi Lucas biarkan jarinya masuk terpleset ke dalam lubang Jungwoo. Tanpa perlu usaha pun setengah jari telunjuk panjangnya sudah masuk dengan mudah ke lubang Jungwoo. Panas dan beceknya lubang itu langsung membalur telunjuk Lucas.

Lucas tak ingin berlama-lama, sekarang sudah terlalu larut, jadi dengan satu kecupan kecil yang ia layangkan di pipi Jungwoo, jari telunjuknya itu pun mulai bergerak.

“Luke …!” bunyi becek dan teriakan Jungwoo menandakan awal permainan jari Lucas. Lucas tak mau bertele-tele kan jadi dia langsung saja menghantam lubang Jungwoo cepat.

Jungwoo terlonjak-lonjak sambil mencoba bernafas dengan benar pada tiap kocokan Lucas di lubangnya. Tangannya memegang erat lengan Lucas yang sedang memanjakannya, kali ini bukan untuk menghentikan, bukan, ia memegang erat tangan tersebut memberi permintaan agar bergerak lebih.

Jungwoo tak tau sejak kapan rasanya dirinya telah hilang akal hendak melayang hanya berpusat pada jari Lucas di senggamanya. Lucas telah menemukan titik manisnya entah dari kapan. Bunyi becek semakin deras terdengar sampai-sampai Jungwoo bisa saja berpikir akan ada banjir yang terjadi di bawah celananya.

Lubang Jungwoo rasanya semakin menyempit. Senggama lembut tersebut pun rasanya telah memeluk jari Lucas begitu erat, sampai-sampai jari itu rasanya tak bisa bergerak lebih jauh lagi. Sudah saatnya Jungwoo untuk tidur, pikir Lucas. Bunyi basah seperti bunyi permen basah yang ditarik paksa dari tempatnya menempel terdengar. Lucas mengeluarkan jarinya dari lubang Jungwoo.

Plop!

Ia tak bermaksud untuk menghentikan permainannya, ia mau menyelesaikan permainannya. Sudah saatnya Jungwoo tidur, itu pikirnya sedari tadi. Jadi jari basah itu kini naik berpindah pada kontol Jungwoo. Oh, Jungwoo sudah super duper basah, panas, tegang, dan bergetar. Lucas mungkin perlu membantu sedikit di sini. Sebenarnya tanpa disuruh pun ia pasti akan membantu Jungwoo.

“Enak?” begitu bisik kecil Lucas pada Jungwoo yang mukanya sudah mengerut memerah, liurnya menetes dari mulutnya yang terbuka mendesah. Bersamaan dengan bisikan itu, Lucas pun mulai menggenggam kontol Jungwoo. Ia kocok, kocok keras sampai bunyi basah tersebut kalah oleh suara desahan Jungwoo.

“Luke … Luke … please~ anh~”

Lucas merasakan urat-urat halus menabrak telapak tangannya saat ia mengocok kontol itu semakin cepat. Tak lupa pula jari jempolnya ia bawa naik ke atas, mengelus lubang kencing Jungwoo.

“AKH!~”

Hanya dalam 2 kali usap, banjir di bawah celana Jungwoo pun benar-benar terjadi.

Jungwoo bergetar. Badannya membusur ke atas menikmati surganya.

Lucas perlahan mengeluarkan tangan basahnya dari celana Jungwoo. Ia kecup pipi kesukaannya itu kemudian berujar, “Ayo tidur di kamar,” katanya menggendong badan yang lebih tua.

Lucas sebenarnya tak pernah tau bagaimana laki-laki berusia pertengahan 30 tahunan dapat sebergairah itu, sebergairah Jungwoo padanya. Ia manja, ingin dimanja tapi kadang sering ngambek sampai-sampai awal mereka jadian, Lucas sering bingung pada mood remaja 30 tahunan itu. Tapi sudah setahun mereka bersama dan panggil saja lah Lucas sebagai pawang Jungwoo karena iya, pada dasarnya ia telah hafal semua tingkah laku keinginan hal yang paling dihindari Jungwoo sekalipun. Jadi kalau dulu Lucas harus mikir seribu kali keliling untuk tau gimana caranya biar Jungwoo ga ngambek lagi, kini dia ahlinya, oh, hormon di usia 30 tahunan memang sedang meledak-ledaknya. Bukan, bukan Lucas, dia masih 24 tahun. Jungwoo, dia 35 tahun tahun ini.

Jangan tanya bagaimana ceritanya dia bisa bercinta dengan pria 10 tahun lebih tua darinya. Ini hanya kisah klasik pemilik kost dengan penyewa yang sering gak punya duit, kok. Hanya kisah cinta biasa dengan bumbu-bumbu hasrat di dalamnya. Lucas sedang berusaha untuk mencari uang kan, dan Jungwoo datang menawarkan tempat tinggal layak padanya tanpa harus mengeluarkan uang, ia bisa berhemat. Kalau begitu, selamat tidur untuk Jungwoo, dan selamat mandi air dingin malam ini Lucas.

Ada suatu tentang Donghyuck.

Jika hari-hari biasanya ia memakai baju kaos hitam kesukaannya, maka kini hoodie besar Mark lah yang ia pakai beserta beberapa baju bola kedodoran yang ia taruh di dalam lemarinya. 

“Kau yakin tak ingin membeli baju baru?” Begitu tanya Mark saat melihat dengan nanar hoodie hijau favoritnya kini telah menjadi pakaian wajib Donghyuck kalau mereka pergi ke luar, nyaman katanya. Seribu toko pakaian telah mereka lewati, namun Donghyuck sama sekali tak menunjukkan reaksi.

“Aku yakin aku hanya butuh hoodie-mu,” begitu jawab Donghyuck singkat. 

Mark mengangguk. Walaupun ia sangat ingin memakai hoodie hijau kesayangannya itu, tetap saja ia harus mengalah demi pasangannya yang baru saja hamil muda itu.

Ini bukan seperti pakaian-pakaian lama Donghyuck sudah tak muat lagi, badannya tak terlalu banyak berubah, hanya perutnya yang berubah semakin buncit. Hanya itu. Namun selama 3 bulan masa mengandungnya, Donghyuck tampaknya sama sekali tak pernah menyentuh pakaian lamanya lagi. Ia memakai pakaian Mark yang kedodoran, membuatnya tampak lucu dan tenggelam. Kata Ibu Mark, itu hal yang wajar, di baju Mark mungkin memiliki sesuatu yang membuat Donghyuck yang sedang hamil merasa nyaman. Terdengar lucu tapi fakta bahwa Mark menghamili Donghyuck terdengar jauh lebih lucu lagi.

Mereka hanya tidak memakai kondom sekali di malam 6 Juni menyambut hari ulang tahun Donghyuck dan hasilnya sungguh memuaskan—bagi Mark—ia masih tak menyangka bahwa Donghyuck sesubur itu dan ia sekuat itu. 

Jadi ketika mereka sudah sampai di rumah setelah berjalan-jalan sore, Donghyuck langsung melepaskan hoodie Mark, menampakkan badan hamilnya yang dibalut singlet putih hadiah dari Ibunya karena katanya “tidak baik orang hamil tidak memakai dalaman”. 

Seperti yang dibilang, perut Donghyuck semakin membuncit, pinggulnya pun makin melebar. Yang lebih mengejutkan lagi adalah dadanya, dada itu lebih berisi, seakan ia tumbuh bersamaan dengan kehamilan Donghyuck untuk diisi susu untuk anak mereka kelak.

“Aku pikir kita harus membeli miniset,” begitu kata Mark sambil melihat dada Donghyuck. 

Tapi satu kata basa-basi atau sarat saran itu rupanya mendatangkan malapetaka. Donghyuck yang sedang melepaskan celananya menatap Mark dengan pandangan tak terbaca. Ia pergi, tanpa mengatakan apapun, ke dalam kamar mandi lalu yang dapat Mark dengar setelahnya adalah suara air shower bergaung bersama isakan kecil. 

Di titik ini, Mark bingung. Apa salahnya?

Ada suatu tentang Donghyuck. 

Ia marah. Marah besar!

Bahkan saat makan malam ia pergi sendiri ke luar apartemen mereka. Meninggalkan Mark yang baru saja selesai mandi kepanikan, berlari ke jalan mencari Donghyuck sambil menelpon pacarnya itu tidak henti. Tebak apa yang diberikan Donghyuck kepada Mark? Stiker jempol. Ke bawah. Donghyuck … jelas ia merajuk. 

Mark tak bisa tenang. Donghyuck adalah lelaki dewasa, benar. Tapi ia adalah lelaki dewasa yang sedang hamil. Ia sedang hamil. Mark tak bisa tenang memikirkan Donghyuck-nya yang sedang hamil pergi entah kemana tanpa dirinya, tanpa mengabarinya, hanya mengirimkannya emoji jempol ke bawah sebagai tanda bahwa ia baik-baik saja. Jadi Mark pun turut turun ke jalan, menghampiri tiap restoran dekat apartemennya sambil mencari-cari lelaki berambut bulat yang memakai hoodie kebesaran. Tapi nihil, bahkan kekasihnya itu tidak ada di restoran pasta tempat kesukaannya. Mark yang telah putus asa, hampir saja menelpon ibu mertuanya untuk membantunya mencari Donghyuck tapi niatnya itu harus ia urungkan saat mata elangnya menangkap jelas kekasihnya sedang duduk makan sup di restoran pinggir jalan, restoran yang sepertinya tak pernah mereka kunjungi. Aneh. Donghyuck itu pemilih soal makanan, ia tak ingin mencoba makanan asal-asalan. Biasanya Mark yang akan mencoba seluruh makanan di sepenjuru kota. Lau setelah diakui oleh lidah Mark, barulah Donghyuck akan berkunjung ke restoran itu.

Tapi apapun itu, Mark lega akhirnya Donghyuck ia temukan. Restoran itu tak terlalu jauh dari apartemen mereka, membuat Mark lega pula karena Donghyuck rupanya tak berjalan begitu jauh. Maka Mark menghampiri restoran sehat khusus diet itu, duduk di depan Donghyuck tanpa memberikan peringatan.

Mata Donghyuck sedikit membulat saat Mark yang ngos-ngosan duduk tegap di depannya. Namun sepersekian detik kemudian mata yang terkejut itu kembali fokus menyantap sup sayur sehatnya, tak mengucapkan sepatah kata apapun pada kekasihnya.

Restoran ini cukup kecil. Hanya ada 4 meja di dalam restoran. Kebulan asap dari panci panas berisikan sup menambah sumpek restoran keluarga kecil ini. Dan Donghyuck memakai hoodie tebal abu-abunya di sini, sambil menyantap sup yang panas. Dapat Mark lihat keringat membasahi wajah Donghyuck, yang akan lelaki itu lap dengan tisu, kemudian begitu seterusnya sampai sampah tisu yang ada di meja mereka begitu banyak.

“Tuan, aku pesan cokelat dingin satu.” Pesan Mark, berharap cokelat dingin, kesukaan Donghyuck, dapat membuat Donghyuck merasa segar.

Namun saat cokelat dingin sudah diantar dan ia sodorkan kepada Donghyuck, lelaki itu malah mendorong gelas tinggi itu. 

“Aku ingin air hangat,” ucap Donghyuck memesan minuman yang rasanya tak tepat diminum sekarang. 

Dan air hangat itu datang dengan cepat. Donghyuck meminumnya dengan cepat pula, membuat mukanya memerah kepanasan.

Mark menaikkan alisnya khawatir. “Jangan minum yang panas-panas. Minum es cokelat ini,” sodor Mark lagi. Tapi Donghyuck masih tetap diam, bahkan lebih parahnya lagi, ia angkat tangannya, “air hangat satu, tolong.” Pesannya kembali.

Mark menghela nafas. Donghyuck benar-benar keras kepala. “Minum air dinginmu, Donghyuck.” Tapi seperti yang diduga, Donghyuck hanya diam sambil menyesap kuah supnya.

 Tuan pemilik restoran tampaknya sadar dengan perselisihan kecil pasangan muda ini. Ia tampak terkekeh sambil membawa pesanan Donghyuck. “Apakah Tuan tak ingin makan?” Tanyanya.

“Tidak, terima kasih. Aku akan makan sup punya suamiku saja,” begitu tolak Mark.

Tuan pemilik restoran itu tertawa, kemudian menaruh pesanan Donghyuck. “Kalian terlihat manis,” katanya sebelum berlalu.

Mark mengangguk, mengucapkan terima kasih, walaupun fakta di depannya adalah pasangannya sedang benar-benar sensitif, begitu kesal dengan muka memerah kepanasan. 

Tapi yang tak Mark duga, setelahnya Donghyuck berhenti makan. Ia sodorkan mangkuk supnya ke arah Mark. “Makan.” Begitu kata pertamanya setelah mendiamkan Mark selama hampir 2 jam.

Mark tak lapar, tapi melihat wajah Donghyuck yang mulai melunak—walaupun matanya masih menatap Mark kesal—membuat ia mencoba menyicip sup sehat itu. Dan berakhir Mark lah yang menghabiskan sup sehat tidak ada rasa itu. 

Donghyuck itu benar-benar sesuatu. 

Mereka berjalan pulang tanpa bergandengan tangan seperti biasanya setelah makan di restoran sup tadi. Donghyuck mengganti baju sedangkan Mark membuatkan susu hamil Donghyuck. 

Suasana saat itu begitu hening. Susu sudah selesai dibuat, Mark lantas menghidupkan tv sembari menunggu Donghyuck selesai berganti pakaian. 

5 menit.

10 menit.

15 menit

25 menit?

Bahkan siaran komedi berbabak itu sudah menayangkan tayangan mereka sebanyak 4 babak. Selama itu pula Donghyuck tak keluar dari kamar untuk meminum susu malamnya sebelum tidur.

Mark pun membawa susu yang sudah dingin itu, ia buka pintu itu sebelum masuk ke kamar mereka dengan pandangan terkejut.

Donghyuck telah tidur.

Ia tertidur terlentang di kasur mereka, di atas tumpukan pakaian kosplay-nya yang entah bagaimana tertaruh acak-acakan di atas kasur. “Donghyuck, bangun. Kau harus minum susu,” ujar Mark membangunkan Donghyuck.

Donghyuck terbangun karena itu. Ia mengelap mukanya sekejap lalu meminum cepat susu yang telah Mark buat. “Tidurlah di posisimu, aku akan mengemas ini,” begitu kata Mark yang berhasil memindahkan badan Donghyuck dari atas tumpukan baju-baju pendek berendanya. 

Malam itu Mark mengemas baju favorit kekasihnya. Tersenyum melihat baju-baju yang dulu—sebelum Donghyuck hamil—sering dipakai kekasihnya sampai rasanya Mark hampir gila. Namun di balik senyuman itu, Mark di lain sisi terdiam. Mata bengkak nan sembab yang tadi ia lihat, yang membuat pucuk hidung bulat itu memerah—jelas bahwa Donghyuck telah menangis, menyisakan sebekas basah air mata di kain satin rok mini kesukaannya. 

Mark memiliki kebiasaan sebelum tidur yang timbul semenjak Donghyuck hamil, yang sebenarnya juga menjadi kebiasaan Donghyuck sebelum ia dapat tidur nyenyak. Mengelus perut Donghyuck, itulah hal wajib untuk menutup hari mereka. Jadi ketika Mark sudah selesai membersihkan diri, mematikan semua lampu apartemen dan memastikan semua jendela dan pintu telah terkunci, ia memasuki kamarnya lalu mendapati Donghyuck tidak tidur (atau lebih tepatnya ia telah tertidur—dilihat dari jejak saliva di pipinya—kemudian kembali terbangun). Lelaki itu terduduk termenung sambil bersandar di kepala ranjang mereka. 

“Tidak tidur?” Tanya Mark sambil naik ke ranjang mereka lalu duduk di samping Donghyuck. 

Donghyuck tak menjawab, dan seharusnya tidak menjawab karena Mark tentu saja tau sendiri kenapa dia tidak bisa tidur.

“Ayo tidur,” ucap Mark. “Sudah hampir tengah malam,” Mark membaringkan dirinya, membuka selimut untuk dirinya dan juga Donghyuck. 

Donghyuck tanpa berkilah juga turut berbaring. Ia masuk ke dalam selimut, tertidur terlentang seperti biasa demi keamanan perutnya. 

Seperti biasa pula tangan Mark menyelinap masuk ke dalam selimut, menaruh tangan lebar nan hangat itu di atas perut buncit berbalut kaos kebesaran-milik-Mark nya Donghyuck. Lalu senada dengan suara detik jam, Mark elus perut besar itu. 

Mark sangat menyukai sesi menghabiskan hari mereka yang seperti ini. Ia tak hanya bisa berduaan melepas lelah bersama kekasihnya, tapi juga bisa melepas sayang nan rindu pada bayi mereka yang kadang menendang kala Mark elus perut induknya. Juga di saat seperti ini, ia dan Donghyuck bisa semakin intim, saling berbagi cerita, saling berbagi pelukan, saling berbagi cinta. 

Donghyuck adalah orang yang hebat. Ia telah berjalan dengan Mark 5 tahun lamanya. Ia tetap percaya dengan Mark walaupun Mark telah menghamilinya tanpa konsen dari keduanya. Jika dilihat dari luar, Mark lah pihak yang tampak sangat disusahkan—ia harus mencari kerja yang lebih layak demi bisa menafkahi Donghyuck yang mulai cuti dari pekerjaannya hingga  harus meyakinkan kedua belah pihak keluarga bahwa mereka bisa membangun keluarga. Tapi dalam faktanya Donghyuck juga sama kesusahannya dengan Mark. Walaupun ia tak perlu bekerja lagi, walaupun ia hanya perlu duduk bersimpuh kala ia dan Mark mendatangi rumah orangtua mereka—ia juga sama kesusahannya. Donghyuck tak pernah mengharapkan kehamilan, berkah yang didatangkan untuk mereka terlalu tiba-tiba—tapi ia senang. Tapi ia juga belum mempersiapkan diri. Badannya membengkak, pinggulnya melebar, dadanya membesar, bahkan jejeran stocking yang ia punya tak bisa lagi muat sampai naik ke pahanya. Jika ia tidak hamil, ia bisa saja dengan mudah menurunkan berat badannya secara drastis dalam waktu seminggu, tapi kali ini ia hamil, ada nyawa lain yang ada di dalam dirinya. 

Rasanya sedih saat ia berkaca lalu melihat dirinya yang rasanya tak ia kenali lagi. Rasanya menjijikkan juga saat melihat stretch mark yang ada di perutnya, di perut bulatnya yang Donghyuck pun begitu takut untuk melihatnya. Sangking tak sanggupnya ia melihat badan sendiri, ia pun menenggelamkan badannya di pakaian-pakaian Mark yang begitu besar—meninggalkan semua pakaian manisnya yang baru saja membuatnya menangis karena rindu—berharap tak ada orang yang sadar akan badannya

“Aku hanya ingin kau tau bahwa kau cantik,“ 

Itu ucap Mark sambil tangannya mengelus perut Donghyuck, merasakan kasarnya stretch mark tanda perjuangan Donghyuck di bawah telapak tangannya. 

Donghyuck tersenyum, ia tersenyum pada kecupan singkat Mark di pipinya. Lalu malam itu Donghyuck tidur di dekapan Mark dengan air mata penuh syukur karena ia telah bertemu Mark, disayangi Mark, dimiliki Mark.

Ada sesuatu tentang Mark.

Sesuatu tentang dirinya yang terus membuat Donghyuck bangkit, membuat Donghyuck merasa layak. Donghyuck tak pernah tau bahwa cinta cocok untuknya, tapi Mark hadir memberikannya cinta, memberikannya kasih dan seisi dunia untuknya. 

Ada sesuatu tentang Donghyuck, sesuatu tentang cintanya pada Mark. 

Tidak biasanya Donghyuck kelam begini. Oke benar, Mark tau bahwa tadi pagi Donghyuck sebal kepadanya karena ia telat bangun, namun itu saja kan, tidak ada hal lain yang seharusnya dibawa serius kan?

Selama latihan rutin mereka di sekolah, Donghyuck hanya cemberut. Ia memang terkenal ketus, tapi hari ini sifat ketusnya berada di level yang mengerikan atau bahkan sudah sangat mendekati level galak. Ia terus marah, mengomel hanya karena kesalahan kecil dalam PBB, berteriak kencang seakan ingin menyatakan dominitasnya. 

Bahkan ketika jam istirahat, saat Mark hendak mendekat, mengajak Donghyuck berjalan berdua ke belakang untuk membeli minuman, lelaki itu langsung menolak (lebih dramatisnya, ia menolak bukan dengan kata, namun dengan pandangan. Mark yang masih berdiri 20 meter darinya, sama sekali belum mengucapkan ajakannya, sudah merasa merinding melihat tatapan tajam itu). Padahal jam istirahat adalah saat dimana mereka bisa berdua, saat dimana mereka bisa bersenda-gurau melepas penat—juga rindu. Donghyuck biasanya sangat suka saat istirahat ini, dimana mereka bisa bermesraan tanpa ketahuan teman-teman yang lain, dimana Donghyuck bisa menggenggam tangan Mark selama perjalanan mereka menuju kantin, atau berperilaku manja seperti Donghyuck yang biasanya. Namun hari ini aneh, pacar Mark itu malah menghindarinya di saat satu-satunya mereka bisa bermesraan.

Lalu latihan singkat hari ini selesai dengan muka masam Donghyuck terpampang di sepanjang latihan—teman-teman Mark yang lain bahkan sangat ketakutan dengan Donghyuck hari ini.

Ketika berada di parkiran, Mark hendak mengejar Donghyuck, hendak mengajaknya pulang bersama seperti mereka yang biasanya. Namun bukannya kata, “oke, tunggu yang lain pulang dulu.” atau “maaf ya, aku mau pergi sama Jaehyun sebentar.” Donghyuck malah mengabaikan ajakannya, tak bersambut seiring punggung lelaki itu pergi meninggalkan dirinya.

Sebenarnya agak aneh bertanya begini, tapi, Mark salah apa?

rumah

baelinsh; commissioned by haechanie_sun

Ada seorang lelaki muda, hidupnya mewah bergelimang harta, pujian-pujian selalu tertuju kepadanya. Rasanya semua hal bagus yang ada di bumi bisa ia miliki. Ia begitu hebat, a fully capable julukannya, Mark Lee namanya.

Namun selayaknya kehidupan manusia, yang terlihat selama ini belum tentu sejalan dengan apa yang terjadi di belakangnya, lelaki muda itu dalam faktanya justru tidak bahagia. Ia tidak suka dengan kehidupannya. Ia ingin pergi saja, menghilang bak tak bisa ditemukan lagi.

Ia bisa saja diagungkan, dianggap memiliki semua dari segalanya, namun hidupnya hancur. Sudah sejak lama hancur, bak tak bisa disatukan kembali, bak tak bisa disembuhkan kembali.

Namun itu hanya segelintir kisahnya sebelum bertemu dengan cinta dalam hidupnya, obat dari segala sakitnya, perekat dalam hidupnya yang hancur.

Semuanya bermula dari hal klise. Mark itu selalu berpikir realistis, bahkan semua sikap teman-temannya selalu ia anggap tidak tulus. Jadi ketika Jeno—teman Mark—bilang bahwa ia ingin memperkenalkan seorang lelaki manis untuk Mark kencani di hari 'makan siang keluarga besar'-nya Mark, lelaki alis camar itu hanya mengangguk-angguk saja, berpikir bahwa itu semua hanya lelucon karena mungkin saja Jeno bohong.

Namun mungkin sekali dalam hidup, Mark harus mempercayai sebuah ketulusan manusia.

Jeno benar-benar memperkenalkannya kepada seorang lelaki manis.

Awalnya Mark terus mendesah jengah. Lelaki dengan kemeja kotak-kotak juga celana jins ketat itu tampak seperti main-main—Mark tau bahwa pertemuan ini tidak begitu serius, tapi manusia mana yang datang ke restoran mewah hotel dengan pakaian sesantai itu?!—Mark hampir saja permisi ke kamar mandi sangking malunya ia ketika lelaki itu makan cake cokelat dengan mulut yang belepotan.

Namun suasana tenang, suara musik blues yang mengalun merdu di udara, dentingan peralatan makan, juga suara bisik-bisik percakapan memenuhi seluruh restoran ini seakan langsung teredam saat lelaki dengan mata kelam itu menatap Mark, membuka mulutnya, lalu bertanya,

“Apakah harimu menyebalkan, Tuan?”

Pada saat itulah Mark tau, lelaki dengan suara bak madu ini, berbeda.

Lelaki itu bernama Haechan.


Tak ada yang pernah menanyakan bagaimana perasaan Mark, apa hari-harinya baik-baik saja, apa yang telah ia lalui hari ini. Semuanya menganggap dirinya baik-baik saja, menganggap ia fully capable.

Maka satu pertanyaan dari lelaki itu begitu mengubah hidupnya.

Mark, seperti biasa, merasa tidak begitu senang dengan hidupnya. Sedangkan Haechan, ia berkata bahwa seminggu yang lalu ia telah dicampakkan pacarnya, dunianya bagaikan hancur katanya. Mereka sama-sama sedang terbelenggu 'hari yang menyebalkan' lalu dengan begitulah mereka seakan saling tersambung, beralih duduk di kursi taman untuk saling meredam rasa.

Walaupun waktu itu wajah Mark tampak datar—duduk sambil mengesap rokoknya pelan seakan tak peduli dengan ocehan Haechan—namun sebenarnya Mark mendengar, mendengarkan dengan seksama cerita sedih percintaan lelaki itu. Mark meneguk ludahnya kasar saat Haechan mulai terisak, menangisi cintanya yang telah kandas.

“Tak apa,” kata Mark. “Menangis lah sepuasmu, berteriak lah sepuasmu, mengumpat lah sebisamu, karena aku ada di sini, merasakan sakit dan jengah yang sama.”

Lalu malam pertemuan pertama mereka ditutup dengan Haechan yang menangis hingga mengantuk di kursi taman, merengek meminta Mark untuk mengantarnya pulang, tak tau saja jika kelak Haechan lah menjadi tempatnya untuk pulang.


Mark sudah membaca sejuta lebih buku, menyerap seribu satu kata-kata mutiara, mengenyam ilmu hingga ke negeri seberang, namun masih saja lelaki seperempat abad ini tak mengerti apa itu cinta.

Setelah hari itu—hari dimana mereka pertama kali bertemu, hari dimana keluarga Mark pertama kali bertemu sapa dengan lisan manis dan sikap sopan Haechan—Mark tanpa sadar tersenyum, menangkup tangan hangatnya pada tangan dingin nan rapuh milik Haechan. Hari itu hari dimana Mark mulai mencari-cari apa arti cinta. Dan entah kenapa, saat kata 'cinta' disebutkan, yang ia lihat hanya Haechan, hanyalah Haechan, hanya ada Haechan.

“Jangan takut. Lupakan masa lalu, berjalanlah denganku sekarang. Aku akan bersamamu, selamanya,”

Sampai akhirnya kalimat tersebut terucap. Mark, telah jatuh, jatuh begitu dalam, menyerahkan segalanya, hatinya, perasaannya, raganya kepada lelaki itu, lelaki bernama Haechan itu.


Semuanya menggelengkan kepala saat melihat senyum itu terus terpatri di wajah tampan nan tegas bos mereka, Mark. Bak hari sudah mau kiamat, semuanya mengerutkan dahi, bertanya-tanya apa gerangan.

Xiaojun, sekretaris Mark, hanya mendesah lalu berkata kepada rekan sejawatnya, “orang yang sedang jatuh cinta memang gila,”

Mungkin senyuman tersebut lebih wajar daripada jawaban Xiaojun. Semuanya melotot, tak percaya. Seakan lupa bahwa Mark juga lah manusia.

Ya, Mark juga manusia. Rasanya ia tak pernah merasa menjadi lebih manusia daripada saat ini; saat ia bersama Haechan, bersenda gurau, mengecup malu-malu pipi merah lelaki itu; menelpon sepanjang malam bak tak ingat bahwa esok ia ada rapat; menjemput Haechan dari kelasnya, bahkan jika itu artinya ia harus terburu-buru mengerjakan kerjaan kantornya; berjalan-jalan sore dengan Haechan, berbagi cerita hingga berakhir melakukan seks pertama mereka di kursi belakang mobil mewah Mark—Mark, tak pernah merasa sebahagia ini dalam hidupnya.

Haechan begitu hangat. Haechan adalah rumah. Tempat Mark pulang, tempat Mark mengadu. Hingga tak terasa sudah hampir 9 bulan lebih Mark merasakan dunianya. Mereka merayakan hari jadi berdua, di bawah kelap-kelip bintang, Mark memeluk Haechan, berucap berbisik mengatakan seribu kata sayang. 

Namun sakralnya malam itu tiba-tiba saja terganggu suara bising ponsel Haechan. Benda itu terus berbunyi, memanggil Haechan yang baru saja fokus pada dunianya kini. 

“Cek pesanmu, entah mungkin penting,” ujar Mark merelakan Haechan pergi dari dekapannya. 

Haechan berjalan pergi, berlalu menuju ponselnya. Terpaku saat sadar, dunia lamanya telah datang kembali.


“Maaf, aku sibuk,”

Mark terlalu lelah mendengar kalimat itu terucap dari bibir kekasihnya akhir-akhir ini. Makan malam, jalan-jalan sore, menginap di rumah Mark, berlibur berdua—semuanya dijawab dengan satu kalimat tersebut.

Haechan mendingin.

Mark sadar bahwa Haechan ialah mahasiswa tingkat akhir, yang mana sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan diri untuk kelulusan namun, apakah benar tak ada lagi waktu untuk Mark?

Maka hari itu, saat Mark benar-benar begitu rindu Haechan, benar-benar membutuhkan Haechan, benar-benar muak dengan kalimat sibuk Haechan—lelaki itu datang ke kampus Haechan, mencari keberadaan lelaki itu di perpustakaan kampus sebab pacarnya itu bilang bahwa ia seharian akan berada di perpustakaan.

Tapi derap kaki Mark terus melaju, melangkah tak henti saat Haechan tak dapat dicari. Haechan tak ada. Mark tak dapat menemukan Haechan.

'kau dimana?'

Adalah pesan terakhir Mark sebelum netra hitamnya menangkap keberadaan Dunianya, berangkulan dengan yang Mark ketahui sebagai patah hati dari Setengah Jiwanya.

Haechan, membuka lembaran baru dalam hidup Mark.


“Ku kira kau tidak bertemu dengannya lagi?” Kalimat itu terdengar tajam juga tersirat kekecewaan.

“Kami hanya teman,” suara itu terdengar dangkal, pelan juga penuh penekanan.

“Kenapa berangkulan?”

“Mark jangan mulai!” Lelaki lebih muda melotot. Ia menggenggam tangan Mark yang ada di sampingnya. “Kami hanya memutuskan untuk berteman kembali. Diantara lelaki, saling berangkulan itu wajar kan?”

Amarah juga siratan rasa cemburu langsung pudar saat bibir hati itu melengkung, memberikan senyuman semanis madu kepada Mark. Hati lelaki itu menghangat, memeluk pria-nya pun mengucapkan kata rindu.

Mark kira kata rindunya turut berbalas, Mark kira senyum indah itu masih menyambutnya, namun sayang di hari-hari selanjutnya, tak ada bekas kasih di sisi Mark, cinta untuknya tampaknya telah pun memudar.


“Haechan, aku ingin bicara,” Mark yang baru saja pulang kantor terduduk rapi di sofa ruang keluarganya. Kemejanya acak-acakan, begitu juga rambutnya; begitu juga hatinya.

Haechan mengangguk. Ia dudukkan dirinya di depan Mark, menanti setiap kata yang akan dilontarkan kekasihnya.

“Apa ... apa kau masih menyimpan kontakku?”

Haechan mengerutkan dahinya. Ia menatap bingung Mark yang kini bertumpu pada lututnya, menunduk ke bawah bak putus asa.

Haechan menggigit bibirnya, ia ambil ponselnya ke hadapannya lalu menaikkan alis saat melihat beberapa pesan tak terbaca dari Mark.

'selamat hari jadi ke 2 tahun' Katanya.

Diikuti dengan beberapa pesan dan stiker manis yang kontak dengan display name 'Mark Lee' itu kirim, bertanya apakah ia mau berjalan-jalan ke Jeju lusa nanti.

Tertanda pesan masuk Senin minggu lalu.

“Apakah ... apakah kau bahkan peduli dengan kita?”

Haechan mematikan ponselnya, ia menggigit bibirnya menatap mata bergetar lelaki yang lebih tua itu, lelaki yang katanya stabil di segala bidang itu, lelaki yang menjadi pelariannya.

“Kita ini apa, Haechan?”

Haechan telah lama membisu, membiarkan hubungannya mendingin, terdiam tak berbisik. Ia suka Mark Lee, sangat. Namun rasa sukanya bukan berbentuk cinta, bukan, Mark Lee bukan cinta. Mark itu hangat tapi ia bukan rumah. Mark itu selalu ada tapi ia bukan tempat untuk pulang. Mark itu, hanya pelampiasan dari kisah utamanya. Haechan tak bisa menemukan sesuatu di diri Mark yang bisa membuatnya bertahan. Haechan sudah tak bisa menjalankan hal konyol ini lagi. Ia membodohi segalanya; menyakiti segalanya. Tak ada yang bahagia di hubungan ini.

“Entahlah,”

Lalu jawaban itu pun terlontar, kata pertama yang Haechan keluarkan setelah sekian lama memendam rasa sakit di hati pasangannya.

“Aku pun tak tau, Mark,”

“Kenapa?”

Isakan kecil Mark membuat Haechan menggigit bibirnya semakin kuat. Ia telah membuat seseorang menaruh harapan besar padanya, menyayanginya, hingga ia patahkan hatinya. “Mark, maafkan aku,” dan tak ada kata lain selain maaf. Haechan sadar betapa buruknya dia sekarang. “Tapi, aku pikir aku tidak bisa melanjutkan—”

“Apa gara-gara lelaki itu? Yang kau umpat, kau cerca di hari kita bertemu? Apa dia?”

“M-mark!” Haechan berseru panik melihat mata juga muka Mark yang telah memerah oleh tangis. “Dia tidak bersalah,”

“Bahkan di saat begini kau masih bisa membelanya?”

Mata Haechan menyayu sedih mendengar decihan di akhir kalimat itu. Ia telah membuat satu orang yang berharap kepadanya sedih hari ini, ia telah membuat harapan pada dirinya menguap hari ini, ia tak akan biarkan tangis itu terus keluar, ia tak akan biarkan lelaki ini menderita lama. Lalu menggenggam ujung kaosnya, Haechan bersuara, mengeluarkan kalimat pematah terakhirnya.

“Maaf Mark. Kemanapun aku pergi, aku sadar hatiku masih berada di tempatnya. Terima kasih sudah menjadi penawar dalam sakitku yang dulu, tapi Mark, kita tak bisa terus begini, aku tak bisa terus bertahan di sini, kau tak bisa terus tersiksa seperti ini; maka dari itu, sepertinya waktu kita telah habis. Maafkan aku.”

“Apakah, benar-benar sudah tak bisa lagi?” Tanya Mark.

Haechan menggeleng. “Jikalau dilanjutkan, kita akan semakin terluka—

“—Semoga ... kau bertemu orang yang lebih baik,”

Menutup hari itu dengan tangis mantan kekasihnya, juga seribu kata maaf yang terucap darinya, Haechan pun pergi atas permintaan Mark, menyambut awal baru yang Mark beri.


Jadi balik di sini lagi lah Mark, bahkan lebih parah. Mark yang dingin, Mark yang workaholic, Mark yang tak tersentuh—ia kembali menjadi Mark yang selama ini dikenal khalayak ramai.

Hatinya sudah terlalu mati untuk menyerap kalimat terakhir Haechan sebelum lelaki itu pergi; “semoga kau bertemu orang yang lebih baik”, karena sampai saat ini, Mark tak pernah bertemu orang baik itu, atau entah ia pun tak ingin bertemu dengan orang baik itu. Hatinya selayaknya sudah tertutup, tak ada jalan masuk lain selain untuk mataharinya yang dulu.

Lalu ketika matahari itu kembali datang, kembali terbit, penuh air mata mengadu kepadanya, Mark membuka kembali kunci hatinya, menerima dengan suka duka mataharinya itu.

“Aku dicampakkan kembali olehnya,”

Selamat datang kembali

Sambut Mark, tak peduli entah luka apalagi yang akan ia terima.

Fin.

“kalau udah besar, mau jadi apa?”

“Jadi serba bisa seperti Papa. Walaupun ga pandai masak, tapi kalau Papi sakit Papa pasti langsung jago masaknya. Juga, mau jadi orang yang suka ketawa kek Papa. Walaupun Papa tadinya nangisin Papi di lorong rumah sakit tapi kalau nenek udah datang, atau adek udah mulai rewel, Papa bakalan senyum lagi, nyambut nenek atau cium cium adek ngasih adek susu—”

“—Kakak juga mau pandai nulis kek Papa. Papa itu jarang marah-marah ngomel kek Papi, dia sukanya diam aja, tapi Papa tiap malam selalu hidupin lampu ruang tengah, nyatat sesuatu di buku coklatnya, kata Papi, Papa itu suka curhat sama kertas. Kakak juga mau pandai ngomong kek Papa, Kakak pernah ke kantor Papa terus Papa di sana kerjanya ngomong di depan orang banyak—Papa keren! Tapi aneh deh, Papa yang pandai ngomong di depan orang banyak kalau udah dimarahin Papi malah diem aja, padahal Papi cuma satu orang, ngga ada apa-apanya dibanding orang banyak yang dengerin Papa ngomong waktu di kantor!—”

“—juga Kakak pengen jadi kuat juga kek Papa. Kuat kek waktu Papa ngangkat Papi yang pingsan di kamar Kakak kemudian masukin Papi ke mobil lalu lanjut gendong adek yang nangis gegara belum minum susu. Kakak yang harus ikut lari-lari pakai baju tidur aja kecapekan, kok Papa masih bisa ya nyanyiin Kakak lagu Nina Bobo di lorong rumah sakit? Papa kuat.”

“Kakak juga pengen jadi orang yang cantik kek Papi. Papi dulu marah kalau dikatain cantik, tapi waktu Kakak bilang 'kalau Papi ga cantik berarti Kakak ga cantik dong, kan Kakak anak Papi,' Papi langsung tiap hari senyum-senyum suka dikatain cantik. Kakak juga pengen punya senyum manis kek Papi itu, walaupun bibir Papi sering pucat gegara demam kata Papa, tapi Papi senyumnya masih sangat cantik, Kakak pengen!—”

“—Kakak juga pengen rajin olahraga kek Papi. Papi itu tiap pagi sering jalan kaki di halaman depan, kadang juga Papi olahraga bawa dokter olahraga ke rumah, pakai alat-alat banyak. Kata Papa, alat banyak itu biar berat badan Papi cepat turunnya. Sebenarnya Kakak ga tau kalau selang-selang yang dimasukin ke hidung sama jarum yang disuntikin di lengan bisa ngurangin berat badan, tapi memang sih, setelah hari itu badan Papi makin kurus, olahraga Papi berhasil!—”

“—Kakak juga pengen jadi pintar seperti Papi. Papi itu selalu jelasin ke Kakak sama Adek mana makanan yang baik untuk dimakan, mana yang ga boleh dimakan. Kata Papi, makanan yang enak banget itu biasanya ga bagus untuk kesehatan. Sebenarnya Kakak sebel gegara ga boleh makan mie instan, tapi Papi tiap hari selalu nyiapin Kakak bekal. Bekalnya lucu-lucu, Kakak suka yang bentuk pokemon, rasanya juga enak banget, kata Papi, daripada beli mie instan, mending uang untuk beli mie itu dipakai untuk beli squishy. Hehe, senang banget! Kata Papi, kami harus makan makanan yang sehat biar lebih sehat dari Papi, biar nanti bisa buat bekal enak juga untuk anak kami,—”

“—pengen jadi kaya juga seperti Papi! Papi pernah ngasih Kakak duit, terus bilang 'ini untuk kamu ya, manatau nanti Papi pergi,' gatau Papi bakalan pergi kemana, tapi Papi tetap di rumah aja, kok, uangnya diambil sama Papa, kata Papa mau dipakai untuk beli squishy. Hehe, squishy baru!”

“Jadi cita-cita kamu mau jadi apa?”

“Eummm... jadi hebat seperti Papa Papi!”

Dear Kakak,

Apa kabar, Kak?

Mungkin kurang lebih sudah hampir 10 tahun kita tidak bertemu, bertegur sapa, bersua layaknya keluarga. Sebelum Kakak bertanya, kabar adek baik-baik aja. Walaupun agak stres sama kuliah tapi yah, I'm doing good.

Waktu itu adek masih kelas 6 SD, waktu itu adek baru pulang terobosan—waktu itu… waktu Kakak pergi dari rumah. Kakak pamit, Kakak bilang kalau Kakak mau tidur di rumah nenek sebentar. Kakak waktu itu mau meluk adek bilang kalau Kakak lusa balik. Tapi adek takut, Kak, adek takut ngeliat muka Kakak yang udah babak belur—penuh luka, penuh bekas pukul, bekas darah dimana-mana—alhasil adek tidak berpelukan dengan Kakak, tidak berpamitan dengan Kakak, bahkan tak mau melihat wajah Kakak yang udah bonyok. Ibu juga waktu itu menarik adek agar lekas masuk, meninggalkan rentangan pelukan Kakak tak tersahut di teras depan.

Adek menyesal. Seharusnya waktu itu adek peluk Kakak erat-erat. Adek cium kening Kakak yang tak tersentuh luka. Adek bisikkan kata sayang. Adek tarik Kakak untuk juga masuk kembali ke dalam rumah, tertidur di rumah hangat kita—Adek menyesal, itu terakhir kalinya adek melihat Kakak. Kata 'akan kembali' yang Kakak ucapkan itu tak bersambut, Kakak tak pernah pulang lagi.

Adek masih mengingat lekat hari itu. Hari yang kelam bagi semuanya. Pagi setelah Kakak pergi, Ibu bagaikan orang linglung, Ayah mengurung diri di kamar, Abang tak ingin lagi bicara sama Ibu dan Ayah. Adek sendiri, duduk di meja makan menunggu sarapan Ibu, namun rupanya sampai jam makan malam pun Ibu tetap terdiam, duduk dengan linglung berdoa siang ke malam, entah meminta hal besar apa sampai-sampai terkadang ia menangis kencang.

Ayah lebih ketat pengawasannya pada kami. Semua teman-teman dekat Abang diusir, Abang benar-benar hampir tak memiliki teman dekat. Adek juga diantar jemput, tidak boleh keluar ketemu dengan teman, bahkan Adek sering dikeluarkan dari kelompok belajar karena jarang datang kerja kelompok. Hal ini bahkan berlangsung sampai Adek SMA.

Setelah itu tak ada yang berubah. Semuanya tetap sama. Ayah dan Ibu masih bak kehilangan pijakan bumi. Abang masih begitu benci dengan keluarga ini. Dan Adek masih tak mengerti apa yang terjadi. Satu hal pasti yang adek tau; semua foto Kakak di rumah dicopot, piagam dan piala Kakak di keluarkan dari lemari kaca ruang tamu—'Kakak udah tidak ada lagi' kata Abang waktu Adek bertanya kenapa.

Dan saat itulah, dengan polosnya Adek berpikir, dengan polosnya Adek menangis, menangisi Kakak pertama Adek yang Adek pikir telah tiada, telah mati.

Sampai saat Adek SMP, saat Adek, Ibu, dan Ayah berkunjung ke rumah Oom. Itu pertama kalinya Ibu dan Ayah keluar rumah, mulai berani berinteraksi dengan keluarga. Namun mungkin di hari itu juga Adek mengerti kenapa Ibu dan Ayah sama sekali tak ingin keluar rumah. Daripada disambuh hangat, dijamukan teh, atau kue kering, Ibu dan Ayah malah disambut dengan cemoohan Oom dan Tante. Dimulai dari bahasan Abang yang tak kunjung mendapatkan kerja, hingga tibalah ke bahasan Kakak. Mereka mencemooh kakak, mengata-ngatain kakak dengan bahasa yang tak sopan. Adek pikir Kakak telah tiada, sungguh tak sopan berbicara tentang ornag yang tiada dengan cara begitu. Namun satu ucapan dari Oom nomor dua sudah cukup membuat Adek terbangun, Adek terbuka, Adek akhirnya tau segalanya.

Kakak tak sesuai keinginan mereka.

Hanya sampai di sanalah batas sabar Ibu dan Ayah berada. Mengucapkan permisi, mereka lalu pergi, menarik Adek untuk langsung pulang ke rumah—dan hanya sampai di batas itu juga ketidaktahuan Adek berada. Adek akhirnya tau, Kakak itu masih ada, namun Kakak dimatikan.

Jikalau Adek tau pun Kakak masih ada, tak ada hal yang bisa Adek lakukan. Adek kadang berharap, semoga suatu saat ada ojek yang datang ke depan rumah mengantar lelaki dengan senyum lebarnya, ada sebuah tas gunung besar bau yang tertonggok di depan kamar mandi, atau aneka macam kue-kue manis yang tersaji di atas meja—persis seperti saat Kakak pulang dari kuliah dulu. Namun semuanya hanya harapan, hanya angan Adek ketika lelah menuntut ilmu demi mengejar cita-cita Adek untuk menjadi pelukis di luar negeri.

Lalu sekarang Adek di sini. Jam 3 malam di apartemen kecil di Brooklyn. Sebuah perjuangan agar Adek bisa sampai di sini. Ayah itu patriarkis, Adek lulus SMA aja sebenarnya sudah syukur. Jikalau tidak atas bantuan Abang, mungkin Adek sekarang… entahlah, sudah beranak dua mungkin…?

Secara mengejutkan, 3 bulan yang lalu, Adek menemukan sebuah kontak email di sebuah kemasan kue. Kue-nya dari Kanada katanya, dari teman Adek yang habis berlibur di Vancouver. Sebuah kemasan sederhana yang membuat mata Adek bergetar. Nama merek kue itu terpampang sederhana di tengah-tengah kemasan. Adek mengenali nama tersebut, nama itu hanya satu, nama unik dengan makna dalam, nama yang jarang sekali orang pakai—nama Kakak, Adek yakin itu nama Kakak.

Adek pun menyimpan kemasan plastik tersebut. Hendak mengontak namun masih takut. Entah itu takut salah sambung, entah itu takut karena berdebar, entahlah, intinya Adek belum sanggup. Hingga suatu hari sebuah telepon berdering di jam 4 pagi yang berisikan suara isakan tentang Ayah yang telah tiada.

Kepala Adek memening. Mengemas barang dengan air mata, Adek pun bersiap pulang, menuju tempat dimana orang tercinta Adek berada. Namun sebelum itu, Adek juga tak lupa mengirimkan pesan kepada orang yang Adek cintai. Orang yang selama ini Adek pegang kontaknya namun masih tak berani untuk tersambung. Pesan-pesan kemarin yang belum Adek kirim karena takut, Adek jadikan satu—berisikan ucapan manis penanya kabar, sebelum akhirnya bagian akhirnya Adek tambahkan, berisi air mata dan keputusasaan. Begitulah akhirnya anak kecil berusia 12 tahun yang masih suka bermain dengan Barbie nya mulai tersambung kembali dengan Kakak lelaki pertamanya yang suka membelikannya donat setiap pulang kuliah.

Hidup kami tidak pernah lebih baik tanpa Kakak. Semuanya bersikap seakan baik-baik saja namun sebenarnya semuanya sudah mati di dalam, ego telah memakan mereka.

Adek tak pernah menyalahkan Kakak. Adek tau, Kakak sudah lebih tau mana yang baik dan mana yang buruk. Sebenarnya apapun kejadiannya, Kakak itu tetaplah Kakak, Kakaknya adek. Adek hormati tiap pilihan Kakak, jadi jangan tanya “kamu ga benci sama Kakak, Dek?” ke Adek lagi ya Kak, Adek gak ada hak untuk membenci

Adek senang mendengar Kakak bahagia di sana, Kakak layak mendapatkan kebahagiaan Kakak. Namun Adek rindu, Kak. Adek rindu Kakak. Rindunya sama seperti saat Kakak pergi kuliah dulu. Maka dari itu, jika Adek sudah libur kuliah nanti, apa Adek boleh pulang ke Kakak? Adek ingin melihat keponakan Adek yang lucu (tidak puas jika hanya melihatnya melalui gambar saja, Adek juga ingin mencium pipinya!) dan juga Abang Ipar Adek yang kata Kakak tampan sekali itu hahahaha.

Sekian Kak, balas secepatnya, ya. Mohon maaf jika suratnya panjang, Adek hanya ingin mengucapkan happy birthday Kakak, tiada cerita tanpa Kakak, tetap bahagia dan Adek sayang Kakak.

xoxo,

SY.

Teruntuk Papa, si dingin malam yang sehangat matahari senja, sang pahlawanku,

Papa, Kakak pulang. Papi hari ini masak banyak makanan untuk kakak karena aaaaaaaaaaa Johnny melamar kakak!

PS: dia udah lulus kuliah kok, Pa, cuman belum dapat kerja saja huhuhuhu

Kami hari ini habis dari tempat Papa. Kakak senang bisa ketemu Papa.

Walaupun Papa jauh, setidaknya kami masih bisa merasakan Papa di sini, di dadanya Papi, jantung Papa yang ada di dada Papi. Kata Papi, tiap degupan jantungnya adalah Papa, Papa masih ada sama Papi.

Kakak sudah berdamai dengan kenyataan kok, Pa. Kakak udah tidak sedih-sedih lagi, toh, Papa melakukan semuanya demi Papi, dan seperti yang kakak bilang tadi, Kakak masih bisa merasakan kehadiran Papa di dadanya Papi. By the way, seminggu lagi Kakak ulang tahun yang ke 26, sudah 4 tahun semenjak Papa mengirimkan surat-surat itu, sudah 4 tahun semenjak transplantasi itu terjadi, Kakak rindu surat-surat Papa:( maka dari itu Kakak baca ulang semua surat Papa dan akhirnya Kakak menulis surat ini.

Papa, terima kasih karena telah menyayangi Kakak. Menjadikan Kakak orang yang paling bahagia di dunia ini. Kakak sayang Papa. Kakak rindu Papa. Papa baik-baik ya di atas sana.

Aduh! Papi udah balik dari toko! Kakak pamit dulu ya, Pa, mau mengemas surat-surat yang berserakan juga mau cuci muka ngelap air mata hehehe sampai jumpa lagi Papa.

Tertanda Putri Cantiknya Papa,

Kakak.

15

Kamu berusia 7 tahun saat kamu bertanya “Papi, kenapa Kakak ngga ada mama?”

Kami sudah sangat mengantisipasi hari ini akan datang.

Papa ingat, hari dimana kamu menanyakan pertanyaan pertama tadi adalah hari dimana kamu baru saja balik dari perjalanan ke kebun binatang dengan anak kelasmu. Papa sedang enak-enaknya memeluk dirimu karena rindu seharian tidak bertemu, malah tiba-tiba tercekat kemudian panik sendiri ketika pertanyaan itu terlontar.

Kamu berkata bahwa ketika para orangtua menjemput anak-anak dari kebun binatang tadi, semuanya memiliki mama, hanya kamu saja yang tidak. Papi terkekeh. Ia elus mukamu kemudian mengecup pipi gembil anak cantik papa.

“Kenapa harus punya mama kalau Papi bisa jadi papa juga mama kamu?”

Dan hari itu pun berakhir tenang dengan Papi yang menertawakan wajah panik Papa.

Namun tidak hanya sampai disitu saja. Ketika kamu berusia 10 tahun, saat kamu masuk kelas biologi pertamamu, kamu berkata, “Papa, kata guru Kakak, bayi lahirnya dari perut wanita, kemudian gimana caranya Kakak lahir?”

Papa sekali lagi panik. Otak Papa rasanya kosong. Papa yang saat itu sedang minum kopi di meja makan langsung menatap panik Papimu yang sedang memanggang roti di dapur, meminta bantuan dari sang ahli.

Namun Papimu itu hanya tersenyum santai, membawa sepiring roti bakar dengan santainya ke atas meja.

Lalu ketika ia telah berdiri di depanmu, ia pun tersenyum, memegang perutnya dengan senyuman. “Kamu lahirnya ga dari sini. Tapi dari sini,” tangan yang ada di perut tersebut kemudian berlabuh menuju dada kiri Papi.

“Kamu lahirnya dari hati, Sayang,”

Dan hari itu pun terselamatkan dengan dirimu yang memeluk Papi erat.

Kamu itu adalah anak yang luar biasa. Kamu tumbuh kembang menjadi gadis yang luar biasa, menjadi anak cerdas, menjadi seorang wanita anggun. Papa dan Papimu kadang menangis saat memikirkan putri kecil kami sudah memiliki pacar (katakan kepada Johnny pacarmu itu kalau Papa masih menunggu ia lulus kuliah baru bisa melamar dirimu) bayi kecil kami sudah menjadi manusia yang kami angankan.

Bibimu, ketika berkunjung ke rumah, pernah bertanya, “kakak pengennya anak kakak jadi apa? Jadi dokter? Jadi pilot? Jadi pengusaha?” kepada Papi.

Papi hanya menjawab. “Jadi orang berguna saja sudah cukup. Jadi dirinya saja,”

Dan disinilah dirimu Putri Cantikku, menjadi orang yang berguna, menjadi permata kami. Menjadi segala-galanya yang kami punya.

Bahkan Papa sekarang sering membacakan tiap pesan masuk yang kamu kirim ke Papa kepada Papimu yang masih juga belum bangun dari komanya.

Kamu yang baik ya sayang kerjanya di sana. Semoga jikalau Papi sudah bangun dari komanya, kamu sudah bisa pulang ke rumah. Papa menulis surat sebanyak ini karena bosan dan rindu kamu, juga ocehan Papimu makanya Papa berpikir, kenapa tidak sekalian saja Papa menyiapkan kado ulangtahun untuk Cantiknya Papa. Papa sebenarnya merasa kesepian, tapi untung saja kamu tiap hari mengirimkan pesan kepada Papa, kamu obat dalam rasa kesepian Papa.

Oh, suster sudah mau masuk ke ruangan Papi. Papa pamit dulu ya, Sayang. Mungkin besok Papa akan mengirim semua surat ini ke Tokyo.

Salam sayang dari Papa teruntuk Putri Cantikku,

Mark Lee.

14

Sudah terhitung 8 bulan semenjak masa berkabung tersebut. Muka Papimu tampak lebih cerah. Bukan karena masa berkabungnya telah lewat, bukan, namun ini karena semua email yang Papimu kirimkan kepada adik perempuannya telah dijawab semua. Iya, Papimu kembali tersambung dengan keluarganya. Keluarga yang sangat ia cintai.

Memang butuh waktu bagi adiknya Papi untuk menjawab email Papi; karena ia harus pulang ke rumah untuk berkabung, balik lagi ke New York, kemudian mempersiapkan kelasnya yang padat. Ia jelas tidak mengacuhkan Papi. Ia sayang Papi katanya.

Adik Papi itu juga menjelaskan kronologis kematian Ayah. Katanya ayah jatuh di kamar mandi, diperparah dengan serangan jantungnya. Ayah sama sekali tidak tertolong. Ia juga menceritakan apa saja kesibukannya selama ini, namun anehnya, sepertinya adik Papi ini jarang sekali menceritakan keluarga yang lain. Namun walau begitu, walaupun pertanyaan Papimu tentang kabar ibunya atau adik-adik lelakinya tak dijawab, ia tetap senang, wajahnya tampak bahagia seharian penuh. Ia bahkan mencetak beberapa surel panjang dari adiknya dengan mesin printer.

Juga Papimu balas menceritakan kehidupan kita di sini. Ia jadi rajin memfoto dirimu! (Padahal Papi itu paling anti untuk memfoto Putri Cantik Papa jikalau tidak di studio, privasi katanya) semua foto tersebut akan ia kirim ke adiknya dengan ucapan-ucapan manis.

Papa juga sesekali mencoba mengirim surel kepada adiknya Papi. Awalnya Papa yakin bahwa surel Papa tidak akan dijawab. Papa sudah membawa lari kakak lelakinya pergi dari keluarga, Papa pantas dibenci. Namun berbanding terbalik dengan pikiran Papa, adiknya Papi membalas email Papa dengan heboh, ia tak menyangka bisa berkomunikasi dengan abang iparnya katanya.

Ya, abang ipar.

Papa baru pertama kali mendengar kata tersebut disematkan pada Papa, dan tak akan berani untuk meminta julukan tersebut dirujuk pada Papa. Namun Papa akhirnya memilikinya, adik Papi juga meminta Papa untuk menganggapnya sebagai adik ipar dan berkata bahwa keponakannya, Putri Cantikku, adalah gadis yang manis.

Kini bukan Papimu sajalah yang menangis meraung-raung, Papa juga. Papa menangis karena akhirnya tau, oh, rupanya kami—aku, suamiku, dan anakku—tidak sendirian di dunia ini, rupanya kami ada keluarga.

Kalian adalah satu-satunya yang Papa miliki. Papa tidak pernah lagi berkomunikasi dengan keluarga Papa dari hari Papa keluar dari rumah hingga sekarang. Namun Papa merasa sangat senang ketika tau bahwa kita rupanya masih ada keluarga, kita tidak sendiri.

Maka ketika musim panas saat umurmu sudah 6 tahun, Papi bersorak gembira, membuka jendela lebar-lebar, memasak banyak makanan, membersihkan rumah besar-besaran, membelikan Putri Cantik Papa banyak baju baru untuk menyambut kedatangan keluarganya—adik ipar Papa datang berkunjung ke rumah. Akhirnya rumah kita kedatangan keluarga.